Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah berpendapat pengujian sejumlah pasal-pasal dalam UU Nomor 8 Tahun 2011 mengenai Perubahan UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) tidak terkait kontitusionalitas norma.

"Pasal 4 ayat (4f), ayat (4g) ayat (4h) dan Pasal 10 UU MK tidak terkait konstitusionalitas norma," kata Dirjen Perundang-undangan Kemenkuham Wahiduddin Adam, dalam sidang pleno pengujian UU MK di gedung MK Jakarta, Jumat.

Selain itu, Pasal 15 ayat (2d,h) UU MK yang mengatur syarat usia minimal dan pengalaman hakim konstitusi merupakan kebijakan pembuat undang-undang (legal policy).

Wahiduddin mengutip pertimbangan putusan MK No. 15/PUU-V/2007 yang intinya menyatakan pencantuman syarat usia minimum atau maksimum untuk jabatan tertentu dalam pemerintahan merupakan kewenangan pembentuk undang-undang.

Menurut dia, Pasal 26 ayat (5) UU MK yang mengatur sistem penggantian antar waktu jabatan hakim konstitusi juga telah memberikan kepastian hukum yang sebelumnya tidak diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2003.

Adanya unsur pemerintah, DPR , MA dalam Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi tidak terlepas dari komposisi pengisian jabatan hakim konstitusi yang masin-masing mengajukan tiga nama dari DPR, Pemerintah, dan MA.

"Ini semata-mata untuk check and balances. Lagipula ada unsur lain dalam MKH yaitu KY dan MK, sehingga tak mungkin hakim kontitusi terlapor dibela lembaga asalnya," kata Wahiduddin.

Soal larangan ultra petita (membentuk norma baru), Wahiduddin berdalih setiap pengujian undang-undang para pemohon tidak hanya bergantung pada keaktifan hakim konstitusi dan prinsip ex aquo et bono (putusan yang adil), tetapi juga hakim konstitusi diberikan keleluasaan (kebebasan) untuk menjatuhkan putusan sesuai keyakinannya.

Sebagaimana diketahui, sejumlah akademisi yaitu Prof Saldi Isra, Prof Yuliandri, Prof Arief Hidayat, Zainal Daulay, Zainal Arifin Mochtar, Much Ali Syafa`at, dan Feri Amsari menguji sejumlah pasal UU No 8 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No 24 Tahun 2003 tentang MK.

Mereka menguji Pasal 4 ayat (4) huruf f, g, h; Pasal 10; Pasal 15 ayat (2d, h); Pasal 26 ayat (5); Pasal 27A ayat (2c, d, e); Pasal 45A; Pasal 50A; Pasal 57 ayat (1), (2), (2a); Pasal 59 ayat (2); dan Pasal 87 UU MK.

Mereka menilai sejumlah pasal itu bertentangan dengan UUD 1945 karena berpotensi merusak dan melemahkan MK. Karenanya, mereka meminta MK membatalkan pasal-pasal itu.

Misalnya, Pasal 15 ayat (2) huruf d dan h yang mengatur syarat usia minimal hakim konstitusi 47 tahun dan syarat pengalaman 15 tahun di bidang hukum dan atau bekas pejabat negara dinilai telah membatasi hak konstitusional warga negara dalam pemerintahan.

Pemohon juga mempersoalkan aturan pergantian hakim konstitusi yang diatur dalam Pasal 26 ayat (5) yang meneruskan sisa masa jabatan hakim konstitusi yang digantikan.

Aturan itu membahayakan independensi karena penggantian dilakukan dalam rezim kepemimpinan yang sama. Padahal penggantian hakim konstitusi saat ini sudah ideal karena ada proses transisi yang semakin hari semakin menunjukkan independensi.

Aturan lain yang dipersoalkan terkait susunan majelis kehormatan hakim (MKH) MK yang menempatkan unsur pemerintah, DPR, dan MA yang diatur dalam Pasal 27A ayat (2).

Aturan itu berpotensi mengakibatkan konflik kepentingan karena ketiga lembaga itu merupakan lembaga asal dari hakim konstitusi. Hal ini juga berpotensi mengganggu independensi MK karena aturan pelaksanaan tugas MK lebih banyak dihasilkan oleh pemerintah dan DPR yang bisa mengancam MK sendiri.

Aturan lain yang dipersoalkan para pemohon adalah batasan MK tidak boleh menjatuhkan putusan ultra petita (melebihi apa yang dimohonkan) yang diatur Pasal 45A jo Pasal 57.

Pemohon menilai putusan ultra petita dinilai sebagai roh kehadiran MK untuk mewujudkan keadilan substantif.

(J008/E001)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011