Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memberikan penekanan bahwa harus ada keseimbangan antara upaya konservasi dan produksi atau pemanfaatan salah satu sumber daya ikan (SDI), yakni ikan sidat (Anguilla sp.) di Indonesia.

Hal itu dibutuhkan guna terjaganya kelestarian sidat di Tanah Air, yang selama ini menjadi salah satu andalan tujuan ekspor yang menghasilkan devisa bagi negara dalam jumlah yang signifikan.

Data itu bisa dirujukan berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan pada 2020 nilai ekspor sidat Indonesia mencapai 16 juta dolar AS.

Pada periode Januari hingga November 2021 nilai ekspor Indonesia mencapai 10 juta dolar AS dengan tujuan ekspor ke China (63 persen), Jepang (16 persen), dan Vietnam (7 persen).

Pada kegiatan sosialisasi Perlindungan dan Pemanfaatan Ikan Sidat yang diselenggarakan Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar secara daring pada 16 September 2020, peneliti dari Pusat Penelitian Biologi, Bidang Zoologi LIPI Dr Haryono memaparkan kondisi sidat itu.

Ia menyatakan bahwa ikan sidat baru dilindungi secara terbatas berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP) Nomor 80 Tahun 2020, disebabkan siklus hidupnya yang unik dan cukup tingginya tingkat eksploitasi.

Baca juga: Kolaborasi melindungi sidat dari ancaman kepunahan

Aturan tersebut melarang penangkapan benih semua spesies ikan sidat stadium "glass eel" (fase kritis benih) setiap bulan gelap tanggal 27-28 Hijriah, "Anguilla bicolor" dan "Anguilla" interioris dewasa dengan berat di atas dua kilogram serta "Anguilla marmorata" dan "Anguilla celebesensis" dewasa dengan berat di atas lima kilogram tidak boleh ditangkap sepanjang waktu

Pelestarian sidat memiliki berbagai kendala seperti kurangnya informasi potensi maupun populasi itu, tingginya mortalitas dalam kegiatan budi daya, minimnya kesadaran masyarakat, dan pengelolaan sidat yang belum terintegrasi.

Dari alam

Urgennya penyelarasan keseimbangan antara konservasi tersebut, menurut Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Pamuji Lestari, karena sidat adalah salah satu komoditas yang benihnya saat ini hanya bisa diambil dari alam.

"Sidat adalah salah satu komoditas yang benihnya saat ini hanya bisa diambil dari alam. Agar usaha budi daya sidat bisa terus berlangsung, nilai-nilai konservasi perlu menjadi pertimbangan," katanya.

Pada akhir Desember 2021, ia bersama sejawatnya Pelaksana Tugas Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kementerian Kelautan dan Perikanan (BRSDM) KKP) Kusdiantoro dan Perwakilan Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa Bangsa (FAO) untuk Indonesia dan Timor Leste Rajendra Aryal meninjau Kampung Sidat di Desa Kaliwungu, Kecamatan Kedungreja, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, yang dikelola Koperasi Mina Sidat Bersatu.

Tempat ini adalah lokasi demonstrasi pertama proyek FAO-IFish yang dimulai pada 2020.

Agar usaha budi daya sidat bisa terus berlangsung, kata dia, nilai-nilai konservasi perlu menjadi pertimbangan.

Baca juga: KKP: Kampung sidat Kaliwungu Cilacap jadi percontohan

Karena itu, ia menyampaikan apresiasi sebesar-besarnya kepada Bupati Cilacap yang telah mengeluarkan peraturan daerah (perda) yang mengharuskan alokasi 2,5 persen dari hasil panen untuk dilepasliarkan kembali ke alam, agar sidat tetap lestari.

Sejawatnya, Pelaksana Tugas Kepala BRSDM KKP Kusdiantoro menguatkan bahwa budi daya sidat membutuhkan keselarasan dan keseimbangan antara konservasi dan produksi, namun dengan landasan teknologi dan ilmu pengetahuan.

Ia juga mengapresiasi kemampuan pembudi daya di Kampung Sidat Kaliwungu yang telah berhasil membuat pakan sidat secara mandiri.

Ke depannya ahli sidat dari Pusat Riset Perikanan KKP juga akan memberikan dampingan kepada pembudi daya di Cilacap, sebagaimana yang telah dilakukan dengan proyek FAO-IFish di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.

IFish merupakan proyek FAO bersama KKP untuk pengarusutamaan nilai-nilai konservasi keanekaragaman hayati perairan darat dan pemanfaatan secara berkelanjutan pada praktik perikanan darat di ekosistem perairan darat yang bernilai konservasi tinggi.

Sistem berkelanjutan

Dalam konteks penyelarasan keseimbangan itu, Perwakilan FAO untuk Indonesia dan Timor Leste, Rajendra Aryal menyampaikan apresiasi tingginya kepada para pihak yang bekerja sama untuk perikanan sidat lestari di Kampung Sidat Kaliwungu.

Apresiasi khusus disampaikannya bagi Koperasi Mina Sidat Bersatu, sebuah usaha budi daya skala kecil yang mampu berkembang dan bertahan di masa pandemi COVID-19 dengan produksi sidat kualitas tingginya.

Baca juga: FAO apresiasi pengembangan kampung sidat di Kaliwungu, Cilacap

Kemampuan Koperasi Mina Sidat Bersatu dalam memformulasi pakan sidat serta meningkatkan tingkat kelangsungan hidup sidat di fase kritis, kata dia, juga perlu menjadi pembelajaran bagi semua.

Kerangka strategis FAO adalah mendukung pencapaian Agenda 2030, melalui transformasi sistem pertanian-pangan yang lebih efisien, inklusif, tangguh, dan berkelanjutan untuk produksi lebih baik, nutrisi lebih baik, lingkungan yang lebih baik, dan hidup yang lebih baik bagi semua.

Dukungan kepada pembudi daya sidat skala kecil di Kampung Sidat Kaliwungu adalah contoh baik implementasi kerangka strategis FAO dalam kerangka pembangunan jangka menengah Indonesia.

"Mari ambil kesempatan presidensi G20 untuk menunjukkan pada dunia perikanan berkelanjutan di Indonesia," kata Aryal.

Keberkahan dari Tuhan akan potensi SDI sidat ini, seperti sumber daya alam lainnya, jika tidak dijaga dan kemudian dieksploitasi berlebihan, tentu akan berlaku hukum alam akan berkurang, kritis, dan bahkan punah.

Karenanya, titik keseimbangan berupa pemaduan antara pemanfaatan dan konservasinya menjadi keniscayaan.

Baca juga: KKP gandeng FAO kelola ikan sidat secara berkelanjutan
Baca juga: Pemancing di Agam temukan ikan sidat langka di Sungai Batang Antokan
Baca juga: Riset dosen IPB terkait sidat masuk prioritas riset nasional

Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2022