Para produsen yang memenuhi 100 DMO-nya untuk diberikan prioritas pertama, sedangkan perusahaan yang belum, harus memenuhi (DMO) dahulu
Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Indonesia memprioritaskan kegiatan ekspor batu bara untuk produsen tambang yang memenuhi 100 persen ketentuan persentase penjualan untuk kebutuhan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO).
 
Pernyataan itu disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif dalam konferensi pers Capaian Kinerja Sektor ESDM Tahun 2021 dan Rencana Kerja 2022 di Jakarta, Rabu.
 
"Para produsen yang memenuhi 100 DMO-nya untuk diberikan prioritas pertama, sedangkan perusahaan yang belum, harus memenuhi (DMO) dahulu," kata Arifin.
 
Lebih lanjut dia menegaskan bahwa kebijakan larangan ekspor yang pemerintah terapkan pada 1-31 Januari 2022 demi menjaga ketersediaan listrik untuk masyarakat karena ketentuan DMO merupakan mandatori yang wajib dipatuhi oleh seluruh produsen batu bara di Indonesia.
 
Makna dari Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat telah menjadi landasan filosofis pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, salah satunya komoditas batu bara.
 
"Apa jadinya kalau kita mati listrik disebabkan oleh batu bara yang notabene kita memiliki sumber (batu bara) yang besar," ujar Arifin.
 
Ia menjelaskan bahwa pemerintah telah menetapkan kewajiban pemenuhan DMO terhitung sejak tahun 2014. Para produsen batu bara diwajibkan memasok 25 persen dari total produksi untuk kebutuhan dalam negeri, sedangkan sisanya 75 persen bisa diekspor secara komersial.
 
Sepanjang 2021, total produksi batu bara di Indonesia mencapai 614 juta ton dengan 40 persen di antaranya atau sekira 240 juta ton dipakai untuk pembangkit listrik.
 
Menurut Menteri Arifin, apabila produsen batu bara disiplin memenuhi komitmen mereka memasok batu batu, maka Indonesia tidak perlu mengalami krisis energi karena konsumsi domestik hanya seperempat dari total produksi atau setara 150 juta ton.
 
Sebelumnya, pemerintah telah mengambil kebijakan untuk melakukan pelarangan ekspor batu bara periode 1 hingga 31 Januari 2022 bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau IUPK tahap kegiatan Operasi Produksi, IUPK sebagai kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian dan PKP2B.
 
Langkah itu dilakukan guna menyelamatkan 10 juta pelanggan PLN mulai dari masyarakat hingga industri dari ancaman pemadaman listrik akibat kekurangan bahan baku batu bara untuk menyalakan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
 
Apabila larangan ekspor batu bara tidak dilakukan bisa menyebabkan 20 PLTU berdaya 10.850 megawatt padam, sehingga berpotensi mengganggu kestabilan nasional.
 
Pemerintah lantas mengambil inisiatif membekukan 490 produsen batu bara dari total 619 produsen batu bara di Indonesia karena mereka tidak memenuhi DMO.
 
Bahkan dari jumlah itu sebanyak 418 produsen batu bara tidak pernah menjalankan komitmen DMO terhitung sejak Januari hingga Oktober 2021. Mereka terus mengeruk batu bara yang digali dari tambang-tambang di Indonesia, lalu menjualnya ke luar negeri dan tidak pernah memenuhi ketentuan DMO.
 
Melalui kebijakan pelarangan ekspor batu bara, pemerintah sedang berusaha melakukan pengamanan energi akibat kondisi stok yang kritis agar listrik bisa terus menyala.

Baca juga: Pasokan PLN membaik, pemerintah buka ekspor batu bara bertahap
Baca juga: Kemenkeu: Skema BLU batu bara akan mirip dengan BPDPKS
Baca juga: Anggota DPR minta pemerintah tinjau ulang pelarangan ekspor batu bara

 

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2022