Jakarta (ANTARA) - Ketika Taliban pada 15 Agustus  2021 merebut kekuasaan di Afghanistan dari pemerintahan dukungan Barat, perempuan adalah salah satu kalangan yang nasibnya sangat dikhawatirkan.

Betapa tidak, selama dulu Taliban berkuasa di Afghanistan dari 1996 hingga 2001, perempuan mengalami aturan garis keras yang dianut Taliban.

Kelompok penguasa itu melarang perempuan pergi ke sekolah, bekerja, dan berada di tempat publik.

Perempuan dilarang keluar rumah tanpa didampingi pria kerabat mereka dan jika tanpa mengenakan burkak.

Taliban juga tidak membolehkan anak-anak perempuan mendapat pendidikan.

Sekarang, ketakutan banyak pihak di dalam dan luar negeri adalah Taliban dalam menjalankan kekuasaan kali ini akan kembali mengekang hak-hak perempuan sebagai manusia, termasuk menyangkut pendidikan dan hak untuk bekerja.

Setelah mengambil alih kekuasaan pada 15 Agustus, Taliban terus ditekan masyarakat internasional --yang telah membekukan dana miliaran dolar bagi Afghanistan-- agar menjunjung tinggi hak-hak perempuan.

Banyak negara sudah mewanti-wanti bahwa mereka tidak akan mau mengakui pemerintahan Afghanistan pimpinan Taliban jika kelompok itu tidak menghormati hak-hak perempuan dan kalangan minoritas.

Taliban mau tidak mau tidak bisa berpaling dari tekanan itu karena pemerintahan yang dibentuknya menghadapi krisis parah di berbagai bidang sehingga membutuhkan bantuan internasional.

Penarikan bantuan asing secara tiba-tiba setelah Taliban berkuasa mendorong ekonomi Afghanistan, yang sudah rapuh, hampir runtuh. Jutaan orang menganggur. Sistem perbankan hanya berfungsi sebagian.

Dengan penduduk sekitar 39 juta jiwa, Afghanistan menghadapi keruntuhan ekonomi, kelangkaan pasokan pangan, dan masalah kemiskinan yang memburuk.

Pejabat tinggi Taliban pada 18 Desember meminta dunia untuk membantunya menangani krisis ekonomi mendalam, yang telah memicu kekhawatiran eksodus pengungsi lain dari Afghanistan.

Permintaan itu menggarisbawahi kenyataan bahwa pemerintahan baru Taliban terdesak untuk berinteraksi dengan masyarakat dunia, empat bulan setelah mereka merebut kekuasaan di Kabul.

Badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan bahwa jutaan warga Afghanistan bisa menghadapi kelaparan selama musim dingin jika tidak segera mendapat bantuan.

Tetapi menurut badan-badan tersebut, pemberian bantuan terhambat oleh keengganan masyarakat internasional untuk berhubungan langsung dengan Taliban --sebagian karena mereka mengkhawatirkan hak-hak perempuan di Afghanistan.

Dekret Perempuan

Setelah mengambil alih kekuasaan di Kabul, ibu kota Afghanistan, Taliban mengaku pihaknya sudah berubah dan menyebutkan bahwa sekolah menengah atas untuk perempuan di beberapa provinsi sudah diperbolehkan beroperasi.

Tampaknya sebagai upaya untuk meyakinkan dunia bahwa pihaknya benar-benar sudah berubah sikap, Taliban pada awal Desember mengeluarkan dekret soal hak perempuan.

Dekret itu menyatakan bahwa perempuan tidak boleh dianggap sebagai "properti" dan harus dimintai persetujuan jika ingin dinikahi.

"Perempuan bukan properti, melainkan manusia yang mulia dan memiliki kebebasan; tidak ada yang boleh menyerahkan mereka kepada siapa pun sebagai imbalan untuk perdamaian... atau penghentian permusuhan," demikian bunyi dekret itu, yang dikeluarkan oleh juru bicara Taliban, Zabillah Muhajid.

Selain menyatakan bahwa perempuan tidak boleh dipaksa menikah, dekret juga menyebutkan bahwa janda harus mendapat bagian properti peninggalan almarhum suaminya.

Namun, ketetapan pemerintahan Taliban itu tidak menyinggung soal perempuan boleh bekerja atau memasuki fasilitas-fasilitas selain rumahnya.

Dekret juga tidak menyebut-nyebut hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan. Masalah itu selama ini menjadi kekhawatiran utama masyarakat internasional.

Kendati demikian, dekret Taliban yang melarang pernikahan paksa itu merupakan suatu perubahan besar, setidaknya di mata dua perempuan terkemuka Afghanistan.

Direktur Eksekutif Pusat Pengembangan Kecakapan Perempuan Afghanistan Mahbouba Seraj menganggap dekret itu merupakan wujud langkah sangat besar yang diambil oleh Taliban.

"Ini pertama kalinya mereka membuat dekret seperti ini," kata Seraj, saat berbicara dalam panel konferensi Reuters Next pada awal Desember.

Seraj mengatakan bahwa, bahkan sebelum Taliban mengambil alih kekuasaan pada 15 Agustus, politisi-politisi Afghanistan sebenarnya juga bergulat untuk membuat suatu kebijakan yang jelas soal hak perempuan seputar pernikahan.

"Sekarang yang harus kami lakukan sebagai perempuan di negara ini adalah bahwa kami harus memastikan kebijakan ini dilaksanakan dan diwujudkan," kata Seraj, yang mengelola tempat penampungan bagi perempuan-perempuan rentan.

Roya Rahmani, mantan duta besar Afghanistan untuk Amerika Serikat, juga menyuarakan optimismenya bahwa sikap Taliban soal perempuan akan semakin berubah.

"Suatu hal yang luar biasa jika itu benar-benar diterapkan," kata Rahmani kepada panel Reuters Next.

Ia melihat penerbitan dekret itu merupakan upaya Taliban untuk meredakan ketakutan internasional atas rekam jejak kelompok itu tentang hak-hak perempuan --pada saat pemerintahan Taliban berusaha mendapatkan aliran dana.

"Ini adalah langkah yang sangat cerdas dari pihak Taliban pada saat ini karena salah satu berita yang menarik perhatian Barat adalah fakta bahwa anak-anak perempuan dijual sebagai properti kepada orang lain untuk memberi makan anggota keluarga lainnya," kata Rahmani.


Tidak Cukup

Kendati ada beberapa tanggapan positif, pertanyaan besar tetap mengemuka soal apakah Taliban akan memperluas pengaturan hak-hak perempuan menyangkut pekerjaan dan pendidikan.

Taliban harus menyadari bahwa kendati sudah berusaha memperlihatkan membuat kemajuan dalam memperhatikan kepentingan perempuan, banyak kalangan masih meragukan apakah Taliban benar-benar punya niat baik terhadap hak perempuan.

Keraguan itu tentunya bukan tanpa alasan karena Taliban masih memperlihatkan tindakan yang belum berpihak pada hak perempuan.

Pada September, misalnya, Taliban membentuk kabinet beranggotakan sejumlah menteri. Tidak ada satupun dari jabatan itu diberikan kepada perempuan. Kementerian urusan Perempuan juga dihapus.

Juru bicara pemerintahan Taliban Zabihullah Mujahid memang menyebutkan kemungkinan akan menambahkan perempuan di kabinet, tapi ia tidak menyebutkan garis waktunya.

Ia juga mengatakan Taliban sedang mempersiapkan aturan yang memperbolehkan perempuan dan remaja putri untuk kembali ke sekolah dan bekerja sesuai dengan hukum Islam, tapi juga tidak menyebutkan kapan aturan itu akan dibuat.

Pada saat ini, baru murid SD kelas 1-6 yang diperbolehkan bersekolah selain siswi-siswi perguruan tinggi --namun tempat duduk mereka harus terpisah dari para siswa laki-laki.

Mahbouba Seraj mengatakan Taliban sekarang perlu mengambil lebih banyak langkah. Ia mendesak juru bicara kelompok itu, Zabihullah Mujahid, untuk mengeluarkan lebih banyak aturan yang akan memastikan perempuan mendapatkan hak untuk menggunakan fasilitas-fasilitas publik.

"Yang sangat saya tunggu berikutnya dari kelompok yang sama itu, dari orang yang sama, adalah ada dekret menyangkut pendidikan dan hak bekerja bagi perempuan-perempuan Afghanistan, itu benar-benar akan fenomenal," katanya.

Baca juga: Menyelamatkan Afghanistan dari krisis kemanusiaan

Copyright © ANTARA 2021