Serikat pekerja jangan hanya menuntut saja tetapi juga membuka hati. Kalau bisa mogok kerja itu tidak dijalankan, jadi harus musyawarah untuk mufakat
Jakarta (ANTARA) - Ancaman aksi mogok kerja yang dilayangkan oleh Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) di sejumlah titik strategis berisiko menghambat aktivitas bisnis PT Pertamina (Persero) dalam memproduksi, menyimpan, dan menyalurkan energi di Indonesia.
 
Guru Besar Hukum Ketenagakerjaan Universitas Indonesia (UI) Aloysius Uwiyono mengatakan serikat pekerja tidak seharusnya hanya mengajukan tuntutan secara agresif, tetapi juga sebaiknya membuka diri terkait dengan segala upaya penyelesaian yang telah ditempuh oleh perusahaan pelat merah itu.
 
"Serikat pekerja jangan hanya menuntut saja tetapi juga membuka hati. Kalau bisa mogok kerja itu tidak dijalankan, jadi harus musyawarah untuk mufakat," ujarnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa.
 
Aloysius menambahkan aksi ini juga berisiko merugikan pekerja yang tergabung di dalam FSPPB, sebab jika perusahaan tidak bisa beroperasi akan menimbulkan efek yang cukup besar lantaran terhambatnya pasokan minyak.
 
"Pastilah mengganggu pasokan minyak karena mereka demo tidak bekerja. Distribusi minyak juga terhambat," katanya.
 
Sementara itu, Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu (FSP BUMN Bersatu) menilai ancaman mogok kerja yang dilayangkan oleh FSPPB kontraproduktif dan berisiko menghambat proses pemulihan ekonomi nasional.
 
Pasalnya, Pertamina merupakan perusahaan pelat merah yang memiliki peran vital dalam perekonomian negara. Selain itu, operasional bisnis Pertamina juga menyangkut hajat hidup orang banyak.
 
Ancaman mogok itu merugikan sebagian besar pekerja Pertamina dan mengancam keberlangsungan usaha masyarakat yang selama ini mendapatkan efek berganda dari bisnis perusahaan tersebut.
 
"Kami menyayangkan rencana aksi mogok tersebut, karena tidak sesuai dengan tujuan berorganisasi dari serikat pekerja," kata Sekjen FSP BUMN Bersatu Tri Sasono.
 
Salah satu dasar dari munculnya ancaman ini adalah adanya rencana kebijakan agile working yang berdampak pada pengaturan mekanisme kerja fleksibel alias work from home (WFH).
 
Manajemen Pertamina memastikan untuk tidak menerapkan mekanisme tersebut, sehingga tidak ada pemangkasan gaji karyawan. Sejalan dengan hal itu, Tri menilai ancaman mogok kerja tak lagi relevan.
 
Sementara itu, jika masih terjadi adanya silang pendapat antara pekerja dengan pihak manajemen menurut dia harus diselesaikan secara bipartit agar meminimalisasi gejolak.
 
"Kalau hanya karena masalah buntunya penyusunan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) seharusnya diselesaikan dengan jalan dialog," ujarnya.
 
Tri optimistis penyelesaian melalui dialog secara bipartit akan efektif untuk menemukan solusi terbaik. Terlebih, selama ini Pertamina dikenal sebagai salah satu perusahaan yang memprioritaskan kesejahteraan karyawan.
 
Di sisi lain, desakan FSPPB kepada Menteri BUMN Erick Thohir untuk mengganti Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati juga tak cukup beralasan karena di bawah kepemimpinan Nicke, Pertamina berhasil mencatatkan kinerja positif.
 
Pada paruh pertama tahun ini, Pertamina menyumbang penerimaan negara senilai Rp110,6 triliun yang terdiri dari Rp70,7 triliun melalui setoran pajak, serta sisanya dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dan dividen yang naik hampir 10 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Baca juga: Anggota DPR: Serikat Pekerja-Manajemen Pertamina perlu dialog

Baca juga: Serikat Pekerja Pertamina ancam mogok kerja

 

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2021