Dengan komitmen moratorium sebesar 64 juta hektare artinya masih ada 39 persen (sekitar 40 juta hektare) hutan Indonesia yang akan dihancurkan."
Jakarta (ANTARA News) - Jurukampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara, Bustar Maitar, menyambut baik penandatanganan Inpres moratorium karena merepresentasikan perubahan politis menuju upaya perlindungan hutan Indonesia.

Bustar dalam siaran pers Greenpeace yang diterima di Jakarta, Jumat, mengungkapkan keprihatinan pihaknya bahwa hanya hutan primer dan sebagian kecil areal gambut yang tercakup dalam moratorium.

Bahkan, lanjutnya, sebagian besar areal yang termasuk dalam peta indikatif moratorium adalah kawasan konservasi dan lindung yang dilindungi oleh hukum.

"Di lain pihak, puluhan Juta hektar hutan Indonesia masih tetap akan dihancurkan," katanya menanggapi pengumuman penghentian sementara (moratorium) penebangan hutan Indonesia Jumat.

Pengumuman Inpres No.10/2011 pada Jumat (20/5) dinilainya jauh dari komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait perlindungan hutan dan membuat keraguan besar dalam pengimplemetasiannya.

"Berdasarkan analisis peta yang dilakukan oleh Greenpeace, 104,8 juta hektare hutan Indonesia seharusnya tercakup dalam moratorium untuk membuat komitmen SBY lebih berarti. Dengan komitmen moratorium sebesar 64 juta hektare artinya masih ada 39 persen (sekitar 40 juta hektare) hutan Indonesia yang akan dihancurkan."

Sebelumnya, Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Joko Supriyono, menyesalkan terbitnya Inpres moratorium hutan alam primer dan lahan gambut yang tidak mengakomodasi kepentingan dunia usaha.

"Padahal, pengusaha perkebunan kelapa sawit telah menyampaikan usulan, namun usulan itu tidak diakomodir sepenuhnya. Karena itu, keputusan ini sangat merugikan kepentingan pengusaha dan petani di Tanah Air," katanya.

Apalagi, menurut dia, pemerintah melarang pemanfaatan Areal Penggunaan Lain (APL) seluas dua juta hektare di lahan gambut seluas 2 juta ha. "Kalau demikian, di mana lagi pengusaha dan petani akan mengembangkan perkebunan," katanya.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi IV, Firman Subagyo, menegaskan, pemberlakuan Inpres itu sangat mengganggu kedaulatan bangsa karena pengelolaan dana kompensasi moratorium hutan alam primer dan lahan gambut selama dua tahun yang harus dilakukan oleh lembaga keuangan internasional.

Hal itu, katanya, mengesankan kedaulatan bangsa ini tidak dihargai lagi.

Apalagi dari hasil pengamatan Komisi IV di Brazil yang juga menjalin kerja sama dengan pemerintah Norwegia, perlakuan negara skandinavia itu kepada Brasil tidak seperti terhadap Indonesia.

"Di Brazil, pelaksanaan moratorium hanya sebagai bentuk kepedulian pemerintah Norwegia terhadap pengelolaan hutan di Brazil."

Selain itu, menurut dia, pengelolaan uang kompensasi juga dilakukan bank nasional di negara tersebut, bukan seperti Indonesia yang dilakukan lembaga internasional dan pengawasan melibatkan lembaga independen.

Padahal menurut pasal 33 Undang-Undang 1945, pengelolaan sumber daya alam yang ada dilakukan untuk kemakmuran rakyat, tanpa harus diintervensi oleh kepentingan negara lain.

Selain itu, kata Firman, pengelolaan hutan menurut UU Kehutanan No.41/1999 harus mengacu pada aspek ekonomi, sosial, dan ekologi. Pemerintah wajib memperhatikan ketiga aspek itu, katanya.

Apalagi, menurut dia, selama ini kalangan pengusaha dan para petani telah memberikan kontribusi ekonomi dan pendapatan negara dan kontribusi sosial serta investasi bagi pemerintah.

"Berbagai aspek itu harus diperhatikan pemerintah. Jika tidak, tidak menutup kemungkinan perusahaan perkebunan dan usaha lainnya terancam "collapse" dan kreditnya di perbankan mengalami stagnasi."
(A027/A038)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011