Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah memberlakukan empat pengecualian dalam pelaksanaan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 10 tahun 2011 tentang Penundaan (Moratorium) Pemberian Izin Baru bagi Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut serta Penyempurnaan Tata Kelola Hutan dan Gambut.

"Meski izin ditunda, terdapat pengecualian yang diberlakukan," kata Staf Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim, Agus Purnomo, dalam keterangan resminya di Jakarta, Jumat.

Menurut dia, pengecualian itu bisa diberikan kepada permohonan pengelolaan yang telah mendapatkan persetujuan prinsip dari menteri kehutanan.

Pengecualian kedua diberikan kepada pelaksanaan pembangunan nasional yang bersifat vital, yaitu eksplorasi dan ekslopitasi panas bumi, minyak dan gas bumi, ketenagalistrikan, serta lahan untuk padi dan tebu.

Kemudian, pengecualian ketiga adalah untuk perpanjangan izin pemanfaatan hutan dan/atau penggunaan kawasan hutan yang telah ada sepanjang izin di bidang usahanya masih berlaku.

Pengecualian terakhir adalah untuk restorasi ekosistem.

"Jadi kalau ada hutan rusak dan ingin direstorasi, maka itu bisa dilakukan," kata Agus Purnomo.

Dia mengatakan, Inpres itu hanya berlaku untuk hutan alam primer dan lahan gambut, sehingga pemanfaatan hutan yang telah terpakai atau terbakar atau yang dikenal dengan hutan sekunder masih bisa dilakukan.

Agus Purnomo menegaskan, berdasarkan Inpres, penundaan izin pengelolaan itu berlaku untuk seluruh hutan alam primer dan seluruh lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi, dan Area Penggunaan Lain (APL).

Penundaan itu berlangsung selama dua tahun. Agus belum bisa menjelaskan tentang kelanjutan penundaan setelah jangka waktu dua tahun sudah terlewati.

Agus mengutip data Kementerian Kehutanan pada 2010 tentang luas dan lokasi hutan alam primer, lahan gambut, dan hutan sekunder.

Berdasarkan data itu, luas hutan alam primer mencapai 64,2 juta hektar. Hutan jenis ini tersebar di beberapa jenis hutan, yaitu hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi, dan Area Penggunaan Lain.

Lahan gambut mencapai 24,5 juta hektar, sebagian masuk dalam kategori hutan sekunder, sedangkan yang lain masuk kategori bukan hutan. Sementara lahan gambut seluas 7,4 juta hektar berada di hutan alam primer.

Sedangkan luas hutan sekunder mencapai 36,6 juta hektar yang juga tersebar di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi, dan Area Penggunaan Lain.

"Data ini bisa berubah sewaktu-waktu," katanya.

Kesepakatan Oslo

Inpres moratorium hutan ini disusun setelah adanya Letter of Intent (LoI) antara Indonesia dengan Norwegia atau disebut Kesepakatan Oslo.

Kesepakatan Oslo yang ditandatangani pada 26 Mei 2010 itu merupakan kerja sama untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD), senilai satu miliar dolar AS.

Kerja sama itu terdiri dalam tiga tahap yaitu tahap pertama dimulai 2010, kedua pada Januari 2011 hingga 2014 dan tahap ketiga pada 2014-2016.

Tahap pertama berupa kegiatan konsultasi dan penyusunan strategi nasional REDD+, pembentukan lembaga REDD+ langsung yang keberadaannya langsung dibawah Presiden RI.

Selain itu juga dilakukan pembentukan lembaga MRV (monitoring, reporting and verification) yang independen dan dipercaya, pemilihan instrumen pendanaan dan pemilihan propinsi uji coba.

Sedangkan tahap kedua meliputi operasionalisasi instrumen pendanaan, peluncuran program uji coba propinsi REDD+ yang pertama, dan penghentian pengeluaran ijin baru konversi hutan alam dan gambut selama dua tahun.

Selain itu juga dilakukan pembuatan database lahan hutan yang rusak atau terdegradasi, ujicoba provinsi kedua REDD+ dan pelaksanaan MRV untuk tier kedua.

Tahap ketiga yaitu pelaksanaan lanjutan strategi dan program REDD+ di tingkat nasional, pemantauan, pengkajian dan verifikasi program REDD+ oleh lembaga MRV yang independen, serta laporan ke UNFCCC mengenai emisi dari lahan hutan dan gambut yang telah dilakukan.

Sedangkan pihak Norwegia akan mengucurkan dana sebanyak 200 juta dolar AS untuk tahap satu dan tahap kedua, serta 800 juta dolar AS untuk tahap ketiga.

Agus Purnomo menegaskan, penandatanganan Inpres Moratorium tidak terkait dengan pencairan dana satu miliar dolar AS dari Norwegia.

"Karena uang itu sudah cair sebelum penyusunan Inpres," katanya.

Dia menyebut uang yang sudah cair itu senilai 30 juta dolar AS yang saat ini dikelola oleh UNDP. Namun, Agus tidak memberikan penjelasan rinci tentang mekanisme pencairan sisa uang dan pengelolaannya.

(F008*D013)

(ANTARA)

Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2011