Jakarta (ANTARA) -
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmidzi menegaskan upaya penanganan Human Immunodeficiency Virus (HIV) tetap diperkuat di tengah pandemi COVID-19.
 
"Meski di tengah pandemi COVID-19, tentunya upaya penangan HIV harus tetap kita kuatkan dan perhatikan karena ini sudah kita ketahui bersama," ujar Nadia dalam webinar Hari AIDS Sedunia 2021 yang diikuti secara daring di Jakarta, Senin.
 
Ia mengemukakan, HIV dan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) memiliki hubungan sangat erat dengan Penyakit Infeksi Menular Seksual (PIMS) seperti sifilis, gonore, dan klamidia atau penyakit-penyakit seksual lainnya.
 
"Jangan dianggap enteng, karena penyakit seksual itu dapat meningkatkan risiko tertular HIV sampai dengan empat kali lipat karena proses peradangan yang terjadi," tuturnya.
 
Di samping itu, lanjut dia, orang dengan HIV juga rentan terhadap berbagai penyakit infeksi menular lainnya.
 
"Orang dengan HIV dan PIMS akan lebih cepat menjadi AIDS. Sementara PIMS meningkatkan risiko tertularnya HIV," katanya.
 
Nadia menjelaskan, HIV merupakan suatu virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh.
 
Sementara AIDS merupakan suatu kondisi di mana gejala yang dialami penderita HIV tingkat keparahannya semakin bertambah.

"Maka akan sampai pada kondisi yang kita sebut sebagai AIDS. Jadi ada kumpulan-kumpulan gejala dan tanda yang merupakan tanda fisik atau terjadinya infeksi oportunistik," papar Nadia.

Baca juga: Kemenkes sebut varian Omicron berkaitan dengan infeksi HIV
 
Ia menyampaikan HIV ditularkan melalui hubungan seks berisiko, baik pada hubungan heteroseksual maupun homoseksual.
 
Kemudian melalui darah, yaitu pada alat suntik yang tercemar dan transfusi darah yang tidak tersaring penyakit HIV, dan dari ibu ke bayi pada saat kehamilan, melahirkan dan menyusui.
 
Tetapi, lanjut dia, semua itu bisa dicegah dengan tidak melakukan hubungan seks yang berisiko, setia pada satu pasangan, menggunakan alat pelindung seperti misalnya kondom, menggunakan alat suntik sekali pakai.
 
Kemudian, melakukan pemeriksaan laboratorium untuk menyaring transfusi darah supaya bebas dari penyakit HIV dan penyakit infeksi menular, serta mendeteksi ibu sebelum kehamilannya, apakah menderita HIV.
 
"Kita memiliki program itu yang kita sebut sebagai triple eliminasi yaitu penawaran tes pada ibu hamil untuk kondisi-kondisi atau mencegah penyakit HIV, sifilis, dan juga hepatitis," paparnya.

Baca juga: Infeksi baru HIV 2020 lebih rendah 47 persen dibanding 2010
 
"Kalau diketahui dari awal bisa kita lakukan tentunya pengobatan sehingga akan mencegah anaknya tertular dari ibunya," ucapnya.
 
Dalam kesempatan itu, Nadia menjelaskan, saat seseorang tertular virus HIV seringkali tidak langsung dapat dideteksi walaupun virus itu sudah menginfeksi.

"Ada yang namanya window periode. Di mana pada saat kita sudah terinfeksi virus HIV, pemeriksaan laboratorium itu masih negatif, dan itu cukup lama bisa lebih dari tiga minggu, kurang dari 1 bulan, bahkan sampai dengan tiga bulan," paparnya.
 
Penderita HIV, lanjut dia, akan tampak sebagai orang yang sehat. Jadi, belum muncul penyakitnya sampai kekebalan tubuh penderita benar-benar. melemah.
 
"Proses ini 5-10 tahun, kalau tidak minum obat anti virus atau dia akan jatuh sampai yang kita sebut sebagai AIDS," paparnya.
 

Pewarta: Zubi Mahrofi
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2021