Jakarta (ANTARA) - Apakah pidana mati efektif untuk memberi efek jera?

Sejumlah kelompok yang bergerak dalam bidang advokasi hukum dan hak asasi manusia (HAM) telah menyuarakan jawaban mereka bahwa pidana mati tidak terbukti efektif dalam menimbulkan efek jera bagi para pelaku kejahatan. Salah satunya adalah Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan bahwa hukuman pidana mati bukan merupakan pilihan yang tepat untuk menyelesaikan kasus tindak pidana korupsi.

Bahkan, Erasmus juga menekankan bahwa tidak ada bukti ilmiah yang menunjukkan eksekusi mati efektif dalam menurunkan jumlah perkara dan mendatangkan rasa jera.

Contohnya, pada 2015, jumlah kejahatan terkait narkotika mencapai 36.874 kasus. Pada tahun tersebut, Indonesia menerapkan hukuman mati kepada delapan orang terpidana mati kasus narkotika di penjara Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.

Akan tetapi, alih-alih menurun, jumlah kasus pada 2016 justru meningkat menjadi 39.171 kasus. Pada tahun itu, pemerintah juga mengeksekusi mati empat pelaku kejahatan terkait narkotika. Jumlah kasus sempat mengalami penurunan pada 2017 menjadi 35.142 kasus, sebelum kembali meningkat pada 2018 menjadi 39.588 kasus.

Erasmus mengklaim bahwa peristiwa tersebut menunjukkan eksekusi mati hanya memberi efek kejut dan pada akhirnya, jumlah kasus akan kembali seperti semula dan bahkan meningkat.

Melakukan eksekusi mati setiap tahun untuk melanggengkan efek kejut bukan merupakan solusi yang menyelesaikan permasalahan. Tingginya jumlah eksekusi mati tentu saja tidak menjadi prestasi bagi suatu bangsa, terlebih di mata internasional.

Di sisi lain, Jaksa Agung Republik Indonesia Burhanuddin mengatakan bahwa ancaman pidana mati merupakan salah satu bentuk politik hukum pidana, khususnya bagi Kejaksaan Agung. Melalui ancaman pidana mati, kejaksaan menegaskan bahwa korupsi merupakan pidana serius yang dapat berakibat fatal kepada pelakunya.

Burhanuddin juga menegaskan, negara dapat mencabut HAM milik seseorang yang telah melanggar undang-undang. Penegasan tersebut didasari oleh Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 yang mewajibkan setiap orang untuk menghormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Seluruh pembelaan yang diutarakan oleh pemerintah dan para aparat penegak hukum terkait dengan hukuman mati memiliki tendensi untuk terpusat hanya kepada pelaku.

Padahal, dampak dari pidana mati tidak hanya tentang hak untuk hidup yang direnggut dari pelaku tindak kejahatan, tetapi juga berdampak kepada mereka yang berada di sekitar para pelaku.

Baca juga: Jaksa Agung: Sanksi pidana mati tipikor tidak untuk bencana non-alam

Dampak terhadap perempuan
Sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Komnas Perempuan, pidana mati merupakan puncak tertinggi kekerasan berbasis gender terhadap perempuan, baik sebagai terdakwa hukuman mati ataupun sebagai penerima dampak dari hukuman mati.

Ketika seorang laki-laki yang berperan sebagai kepala keluarga harus menjalani eksekusi mati, maka tanggung jawab sebagai kepala keluarga akan berada di pundak perempuan.

Sebagai dampak dari pemberlakuan hukuman mati, perempuan tidak hanya memperhitungkan bagaimana cara untuk menafkahi keluarganya, tetapi juga harus menghadapi stigma masyarakat yang melekat akibat perbuatan dari pasangannya.

Perempuan telah menerima berbagai tekanan sosial sebagai bagian dari kelompok rentan, terlebih dengan budaya patriarki yang membayangi masyarakat Indonesia secara turun-temurun. Stigma yang muncul di kalangan masyarakat justru akan memperburuk keadaan perempuan dengan diskriminasi berlapis.

Dengan demikian, penetapan pidana mati juga harus memperhatikan aspek-aspek perlindungan perempuan dari kekerasan berbasis gender.

Di sisi lain, terkait perempuan sebagai terdakwa hukuman mati, Komnas Perempuan menemukan fakta bahwa pidana mati yang dialami oleh perempuan, khususnya perempuan pekerja migran, bermula dari jejak panjang feminisasi kemiskinan dan lapisan kekerasan berbasis gender yang mereka alami sejak dari rumah.

Peristiwa kekerasan berbasis gender yang mereka alami terakumulasi dalam dunia kerja dan ruang-ruang sosial lainnya, sehingga mengakibatkan mereka melakukan perbuatan yang melanggar hukum yang berujung pada pidana mati.

Dikutip dari laman resmi Komnas Perempuan, isu-isu yang memiliki keterkaitan dengan pidana mati terhadap perempuan adalah feminisasi kemiskinan, feminisasi migrasi, stigma sosial, perdagangan orang, kejahatan narkotika, sistem hukum yang tidak berpihak kepada perempuan korban, pelanggaran hak atas peradilan yang adil, dan hak untuk bebas dari penyiksaan.

Akumulasi dari isu-isu tersebut merupakan sejumlah faktor yang harus menjadi pertimbangan pemerintah dan para penegak hukum ketika menetapkan hukuman mati terhadap perempuan. Apalagi, ketika mereka harus menanti dalam ketidakpastian akibat waktu tunggu proses eksekusi yang dapat berdurasi lebih dari lima tahun.

Tidak hanya kehilangan hak untuk hidup, mereka juga dapat kehilangan kesehatan mental.

Baca juga: Komisi Kejaksaan: Pidana mati koruptor bentuk politik hukum pidana

Dilema pidana mati
Menghapus hukuman mati tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pihak-pihak yang terlibat sebagai pembuat regulasi memiliki berbagai pertimbangan terkait dengan hukuman pidana mati, seperti tindak kriminal yang kian meningkat.

“Apabila sanksi pidana mati untuk koruptor dihapuskan, apakah lantas akan terjadi penurunan kuantitas tindak pidana korupsi?” ucap Jaksa Agung RI Burhanuddin.

Ia juga mengatakan bahwa, selama ini, kejaksaan telah melakukan berbagai upaya penegakan hukum, misalnya menjatuhkan tuntutan berat yang sesuai dengan tingkat kejahatan, mengubah pola pendekatan dari follow the suspect menjadi follow the asset dan follow the money, serta memiskinkan para koruptor.

Sayangnya, seluruh upaya yang telah ditempuh oleh aparat penegak hukum tidak menunjukkan tanda-tanda penurunan tindak pidana korupsi.

Mengganti pidana mati dengan hukuman pidana penjara seumur hidup juga bukan merupakan solusi terbaik, mengingat Indonesia sedang mengalami permasalahan kelebihan kapasitas lapas.

Selain itu, tidak seluruh kasus dengan ancaman pidana mati dapat menggunakan alternatif hukuman lainnya. Misalkan, hukuman pidana untuk kasus pelanggaran HAM berat seperti genosida.

Saat ini, para penegak hukum menggunakan hukuman pidana mati sebagai politik hukum pidana yang ‘menggertak’ berbagai pihak agar mengurungkan niat mereka dalam melakukan tindak pidana. Tetapi, hal ini tidak bisa berlangsung dalam waktu yang lama, berkaca dari dampak hukuman pidana mati kepada para terdakwa, khususnya kepada perempuan.

Terlalu banyak benang kusut yang menjadi pekerjaan rumah bagi para pembuat kebijakan, berikut dengan berbagai pertimbangan mengenai gejolak yang sedang berlangsung di dalam dan di luar negeri.

Indonesia membutuhkan gebrakan hukum yang dapat menata ulang sistem penegakan hukum di negara ini.

Baca juga: Komnas HAM berharap pidana hukuman mati dihapus total

Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021