Apa yang kami hasilkan dalam kajian ini, tidak bermaksud menggugat eksistensi dan putusan pengadilan.
Kota Palu (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bekerjasama dengan Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Tadulako (Untad) Palu mengkaji kasus tindak pidana penyuapan dan pencucian uang melibatkan mantan Dirut PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar dan mantan Dirut PT.Mugi Rekso Abadi Soetikno Soedarjo.

Dalam melakukan kajian tersebut , Pusat Kajian Antikorupsi Untad Palu membentuk tim kaji yang beranggotakan 21 orang dosen dari Fakultas Hukum Untad.

Menurut Dr. Surahman, SH. MH, selaku ketua tim kaji kasus tersebut, hasil kajian yang dilakukan oleh tim bukanlah untuk menggugat hasil putusan pengadilan, melainkan sebagai kepentingan ilmu pengetahuan.

"Apa yang kami hasilkan dalam kajian ini, tidak bermaksud menggugat eksistensi dan putusan pengadilan, tetapi apa yang kami lakukan itu haya berkenaan dengan upaya mengkaji putusan itu dari sisi akademik, kami tidak bermaksud untuk mengatakan putusan ini salah dari kacamata yudisial, tetapi berkenaan dengan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dari sisi akademik," ujar Surahman, Rabu.

Menurut Surahman, kerja sama antara dosen hukum Untad dengan KPK bukan kali pertama dilakukan, tetapi sudah beberapa kali terkait kampanye antikorupsi.

"Sudah berapa kali kerja sama, tetapi ini baru kali pertama kerja sama terkait pengkajian putusan," ujarnya pula.

"Kami juga terbuka kepada siapa pun dari pihak mana pun jika mempercayai kami untuk mengkaji kasus kasus korupsi lainnya di Sulawesi Tengah. Tetapi kembali lagi, kalau itu tidak bermaksud menggugat putusan pengadilan," katanya lagi.
Baca juga: KPK limpahkan berkas perkara Hadinoto Soedigno ke Pengadilan Tipikor
Baca juga: Erick Thohir: Kami dukung investigasi kasus korupsi Garuda-Bombardier



Hasil anotasi hukum tim kajian terhadap kasus ini dilakukan selama kurang lebih delapan bulan. Ada tiga poin temuan anotasi hukum tim kajian terhadap kasus tersebut, yakni berkenaan dengan dakwaan, tuntutan, dan putusan. Dari hasil temuan tersebut tim kajian juga merekomendasikan beberapa poin.

Berikut Rekomendasi Tim Kajian Untad Palu:

Pertama, ketepatan menggunakan Pasal 71 KUHP terhadap status a quo. Dapat diperoleh ketika nilai hukum dilihat dari sisi kemanfaatan dan keadilan. Bicara mengenai kemanfaatan, maka penting kita titik beratkan dari pertanyaan besar manakah yang memberi manfaat yang besar antara penggabungan perkara dengan pemisahan perkara. Sebelum jauh mengelaborasi pertanyaan tersebut, penting untuk dipahami bahwa nilai kemanfaatan bertalian erat dengan sisi efektivitas pembuktian.

Dari konstruksi tersebut, setelah membaca dakwaan perkara a qou (berkarakter penggabungan perkara) nampak sangat jelas bahwa bangunan argumentasi hukum yang dinarasikan tidak terurai secara efektif dan cermat. Dengan tidak terpenuhinya sisi efektif dan cermat tersebut, maka nilai kemanfaatan tidak sepenuhnya dicapai.

Kemudian, dari sisi nilai keadilan menelusuri terkait dengan hak pembelaan dari terdakwa terhadap dakwaan, dengan mengacu pada beberapa perkara tindak pidana korupsi maupun penyuapan yang berkarakter dakwaan terpisah sebagai contoh nampak bahwa terdakwa dapat secara maksimal membela haknya di hadapan pengadilan, hal tersebut dapat diperoleh dikarenakan dakwaan yang terfokus pada satu perbuatan hukum.

Sekali lagi tim tegaskan bahwa penggunaan ketentuan Pasal 65 KUHP sebagai dalil legalitas penggabungan perkara dalam amatan tim pengkaji merupakan tindakan yang benar, tapi tidaklah tepat, idealnya jaksa tidak menggunakan ketentuan Pasal 65 KUHP melainkan ketentuan Pasal 71 KUHP sehingga ketiga nilai hukum dapat dicapai secara bersamaan.

Penggabungan perkara a quo tidak hanya berdampak pada keterpenuhan nilai hukum, melainkan juga berdampak pada kaburnya pembuktian dalam persidangan yang dalam amatan tim pengkaji juga mengaburkan perbuatan hukum lainnya.

Pengaburan tersebut terjadi dikarenakan pembuktian tidak terfokus pada satu delik perbuatan pidana melainkan lebih dari satu. Padahal jika diamati secara mendalam dan komprehensif, perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa Emirsyah Satar dan Soetikno tidak hanya sekadar berhenti pada potensi kerugian negara melainkan adanya kerugian negara.

Tentu menjadi pertanyaan mengapa aroma kerugian negara tersebut terendus dalam perkara a quo, sedangkan pasal yang didakwakan terkait dengan penyuapan dan penerima suap.

Menjawab pertanyaan tersebut, penting untuk memahami fakta hukum yang terungkap dalam pembuktian (terbaca dalam putusan).

Kedua, mencermati fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan melalui tangkapan bacaan putusan nampak bahwa ada tindakan yang dilakukan setelah perbuatan penyuapan, tindakan yang dimaksud ialah berupa pembelian pesawat terbang.

Tindakan pembelian pesawat terbang merupakan tindakan yang dihendaki oleh penyuap, sehingga dalam konstruksi hukum administrasi telah terjadi perbuatan penyalahgunaan wewenang yang secara sadar untuk memperkaya diri sendiri.

Tindakan ini tentunya memiliki korelasi atau kesesuaian unsur dengan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3, sehingga dalil kerugian negara pada prinsipnya telah terpenuhi. Oleh karena fakta hukum menggambarkan adanya potensi besar keterpenuhan unsur Pasal 2 dan Pasal 3 di dalam perkara a quo, maka sangat dipandang penting jaksa melakukan pengembangan perkara a quo dan tidak hanya sekadar berhenti pada dua perbuatan hukum yang telah ada.

Penjatuhan hukuman tambahan berupa pembayaran uang pengganti pada hakikatnya merupakan upaya untuk mengembalikan kerugian keuangan negara sebagai akibat dari tindak pidana korupsi yang dilakukan sebagaimana dimaksud Pasal 18 ayat (1) huruf b UU TPK, maka jika suatu tindak pidana korupsi yang tidak menggunakan uang negara, misalnya saja kasus suap menyuap yang menggunakan uang pribadi tidak dapat dibebankan uang pengganti sebagaimana dimaksud Pasal 18 UU TPK.

Demikian pula halnya dalam perkara ini, akan tetapi hal tersebut tidak menutup kemungkinan untuk membongkar kemungkinan adanya kerugian keuangan negara dan mafia pengadaan yang lebih besar, apalagi jika hasil pemeriksaan awal tahap penyidikan maupun hasil persidangan ditemukan adanya dugaan kemungkinan adanya permainan di dalam proses pengadaan yang tidak menutup kemungkinan telah menimbulkan kerugian keuangan negara, dan penyidik belum menjangkau hal tersebut.

Dalam hal ini penuntut umum dapat memberikan petunjuk kepada penyidik untuk melakukan penyidikan lebih lanjut untuk mengembangkan perkara tersebut.

Ketiga, membaca dan mencermati dakwaan jaksa dalam perkara a quo, nampak sangat jelas Jaksa KPK tidak mengurai jumlah potensi kerugian negara. Padahal esensi dari unsur delik penyuapan berkaitan erat dengan potensi kerugian negara.

Kerugian negara adalah kekurangan uang, surat berharga dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.

Uraian mengenai potensi kerugian negara menjadi hal yang penting dimuat dan dielaborasi secara cermat dalam dakwaan, mengingat dalil yang dibangun oleh Jaksa KPK ialah dalil tindak pidana penyuapan.
Baca juga: KPK eksekusi Emirsyah Satar ke Lapas Sukamiskin
Baca juga: Eks direktur Garuda Indonesia didakwa terima suap dan pencucian uang


 
Sejumlah dosen Fakultas Hukum Universitas Tadulako yang tergabung dalam Tim Pusat Kajian Antikorupsi Untad Palu. ANTARA/Rangga Musabar

Pewarta: Rangga Musabar
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2021