Jadi Pak Luhut tidak memiliki kontrol mayoritas di TBS, sehingga kita tidak bisa berkomentar terkait Toba Bumi Energi
Jakarta (ANTARA) - Juru Bicara Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Jodi Mahardi, menjelaskan tidak ada maksud bisnis dalam keterlibatan sejumlah pebisnis, termasuk Luhut, yang mendirikan Genomik Solidaritas Indonesia (GSI) Lab pada tahun 2020 dalam membantu pemerintah mempercepat penanganan COVID-19.

Luhut sebelumnya diduga terlibat dalam bisnis tes polymerase chain reaction (PCR) lantaran dua perusahaan yang terafiliasi dengannya yakni PT Toba Sejahtra dan PT Toba Bumi Energi, ikut mengantongi saham di GSI.

"Tidak ada maksud bisnis dalam partisipasi Toba Sejahtra di GSI, apalagi Pak Luhut sendiri selama ini juga selalu menyuarakan agar harga test PCR ini bisa terus diturunkan sehingga menjadi semakin terjangkau buat masyarakat," katanya dalam pesan singkat kepada ANTARA di Jakarta, Selasa.

Jodi menjelaskan Toba Bumi Energi adalah anak perusahaan Toba Bara Sejahtra. Namun saham Menko Luhut yang dimiliki melalui Toba Sejahtra di Toba Bara Sejahtra sudah sangat kecil yaitu di bawah 10 persen.

"Jadi Pak Luhut tidak memiliki kontrol mayoritas di TBS, sehingga kita tidak bisa berkomentar terkait Toba Bumi Energi," katanya.

Jodi mengungkapkan awal mula pendirian GSI di mana kala itu Luhut diajak teman-teman dari Grup Indika, Adaro, Northstar, yang berinisiatif untuk membantu menyediakan tes COVID-19 dengan kapasitas tes yang besar. Dahulu, hal tersebut menjadi kendala pada masa-masa awal pandemi.

"Jadi total kalau tidak salah ada 9 pemegang saham di situ. Yayasan dari Indika dan Adaro adalah pemegang saham mayoritas di GSI ini," ujarnya.

Jodi menuturkan, karena kelompok bisnis tersebut sudah mapan dan bergerak utamanya di sektor energi, maka GSI tidak dibentuk untuk mencari keuntungan bagi para pemegang saham.

Sesuai namanya, GSI atau Genomik Solidaritas Indonesia merupakan aksi kewirausahaan sosial.

"Malah diawal-awal GSI ini gedungnya diberikan secara gratis oleh salah satu pemegang sahamnya, agar bisa cepat beroperasi pada periode awal dan membantu untuk melakukan testing COVID-19," katanya.

Jodi pun memastikan hingga saat ini, tidak ada pembagian keuntungan dalam bentuk dividen atau bentuk lain kepada pemegang saham.

"Saya lihat keuntungan mereka malah banyak digunakan untuk memberikan test swab gratis kepada masyarakat yang kurang mampu dan petugas kesehatan di garda terdepan, kalau tidak salah lebih dari 60 ribu tes yang sudah dilakukan untuk kepentingan tersebut, termasuk juga membantu di Wisma Atlet," katanya.

Jodi juga menyebut partisipasi Luhut di GSI merupakan bagian dari usaha purnawirawan TNI itu untuk membantu penanganan pandemi di awal, selain adanya donasi pemberian alat-alat tes PCR dan reagen yang diberikan kepada fakultas kedokteran di beberapa kampus.

Luhut juga disebutnya ikut membantu Nusantics, salah satu startup di bidang bioscience, untuk membuat reagen PCR buatan anak bangsa yang saat ini diproduksi oleh Biofarma.

Jodi menegaskan kebijakan tes PCR diberlakukan untuk mengantisipasi kenaikan kasus COVID-19, terutama pada periode Natal dan Tahun Baru.

Belajar dari pengalaman di negara lain yang mengalami lonjakan kasus yang signifikan, Indonesia harus terus mengetatkan 3M, 3T (testing, tracing, treatment) untuk bisa mengimbangi relaksasi aktivitas masyarakat.

Terlebih, saat ini tingkat vaksinasi dosis dua Indonesia baru mencapai kira-kira 35 persen.

"Sangat disayangkan upaya framing seperti ini. Ini berpotensi menyebabkan para pihak yang ingin membantu jika terjadi krisis berikir dua kali. Ini akan membuat pihak-pihak yang ingin tulus membantu dalam masa krisis (jadi) enggan," kata Jodi.
Baca juga: Luhut: Vaksinasi dosis dua RI masih tertinggal dari Singapura-Malaysia
Baca juga: Luhut: Presiden Jokowi minta harga tes PCR turun jadi Rp300 ribu


 

Pewarta: Ade irma Junida
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2021