Jakarta (ANTARA News) - Pengurus Besar Al Jam`iyatul Washliyah dan PT Perkebunan Nusantara II melaporkan dugaan praktik mafia hukum dan mafia tanah di Provinsi Sumatera Utara kepada Komisi Yudisial, DPR RI, dan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Kuasa hukum Pengurus Besar (PB) Al Washliyah, Ade Zainab Taher, mengatakan, dugaan praktik mafia hukum dan mafia tanah di Sumatera Utara dengan modus menguasai tanah yang didukung oleh lembaga penegak hukum.

"Klien kami meminta bantuan dan pertolongan kepada Komisi Yudisial, DPR RI, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) guna menyelesaikan kasus yang dihadapinya," kata Ade Zainab Taher usai bertemu dengan anggota Komisi III DPR RI, di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis.

Sebelum ke DPR RI, Ade Zainab Taher mendampingi kliennya yakni pimpinan PB Al Washliyah melaporkan ke Komisi Yudisial dan diterima dua anggota Komisi Yudisial yakni Ibrahim dan Jaja Ahmad Jayus.

Turut melaporkan dugaan praktik mafia hukum dan mafia tanah ke Komisi Yudisial adalah kuasa hukum PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II, Posma Nababan, yang mendampingi kliennya Direksi PTPN II.

Rencananya, Kuasa Hukum PB Al Washliyah dan Kuasa Hukum PTPN II juga akan melaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi.

"Kepada Komisi Yudisial dan Komisi III DPR RI kami melaporkan dan meminta bantuan terhadap persoalan yang dihadapi klien kami," katanya.

Ade Zainab menjelaskan, persoalan yang dilaporkan ke Komisi Yudisial, DPR RI, dan KPK adalah sengketa tanah seluas 106 hektare milik PB Al Washliyah dan PTPN II yang berlokasi di Kecamatan Labuan Deli, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.

Dari 106 hektare tanah tersebut, seluas 32 hektare adalah tanah PB Al Washliyah yang membeli kepada PTPN pada 2004 untuk dibangun perguruan tinggi.

Menurut Ketua PB Al Washliyah, Yusuf Perdamaian mengatakan, terhadap tanah seluas 32 hektare tersebut, sudah dilakukan pengukuran oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat dan sudah mendapat surat keputusan dari Gubernur Sumatera Utara pada Desember 2005 untuk penggunaan dan pemanfaatan.

Namun, pada Februari 2006, ada sebanyak 65 orang yang mengklaim sebagai penggarap lahan seluas 106 hektare tersebut melakukan gugatan melalui Pengadilan Negeri Lubuk Pakam, yang kemudian memenangkan penggugat pada 2007.

Menurut Ade Zainab, dasar pengajuan gugatan yang dilakukan oleh 65 orang tersebut setelah dipelajari ternyata ditemukan sejumlah keganjilan.

Karena itu, Pimpinan Al Washliyah dan Direksi PTPN II melaporkan dugaan penipuan yang dilakukan oleh 65 orang yang mengaku penggarap tersebut.

Laporan tersebut, kata dia, diproses hukum dan terbukti ada unsur penipuan sehingga Pengadilan Negeri Lubuk Pakam menjatuhkan vonis tiga bulan penjara kepada 65 orang yang mengaku penggarap.

Posma Nababan menambahkan, para penggarap tersebut mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Sumut, tapi Pengadilan Tinggi Sumut kemudian menguatkan putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam dengan menjatuhkan hukuman satu tahun penjara kepada penggarap.

Para penggarap itu kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, namun Mahkamah Agung juga menguatkan putusan Pengadilan Lubuk Pakam yakni menjatuhkan vonis tiga bulan kepada penggarap.

Menurut Posma, PTPN II juga mengajukan gugatan perdata terhadap para penggarap berdasarkan putusan kasasi Mahkamah Agung dan saat ini masih dalam proses persidangan.

Meskipun Mahkamah Agung sudah memutuskan kasasi dan gugatan perdata dari PTPN II masih berlangsung di Pengadilan Negeri Lubuk Pakam, tapi pihak Pengadilan Negeri Lubuk Pakam akan menjalankan putusan perdatanya yakni akan mengeksekusi lahan seluas 106 hektare tersebut.

"Persoalan ini yang kami laporkan ke Komisi Yudisial, DPR RI, dan KPK. Kami meminta agar rencana eksekusi tersebut ditunda, karena masih ada proses hukum yang sedang berlangsung," kata Posma. (R024/Z002/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011