Jakarta (ANTARA) - Program Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI) harus lebih banyak melibatkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di sektor pangan sehingga dapat berdampak nyata kepada berbagai kalangan masyarakat di Tanah Air.

"Untuk menyukseskan gerakan ini (Gernas BBI) perlu melibatkan aktor-aktor kunci seperti petani dan pengolah pangan atau UMKM-nya. Kedua aktor ini harus terhubung dan sama-sama mendapat dukungan," kata Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah kepada Antara di Jakarta, Senin.

Menurut dia, dengan lebih besar keterlibatan dari berbagai pihak tersebut di sektor pangan, maka produk berkualitas yang dihasilkan UMKM akan lebih dapat menjawab selera dan kualitas yang diinginkan konsumen, tentu saja perlu didahului oleh bahan baku berkualitas.

Mengenai Gernas BBI, Said menyatakan bahwa program itu baik dan perlu mendapat apresiasi karena menguatkan produksi pangan dengan mendorong dari sisi permintaan, karena dalam sektor pangan tidak cukup hanya dengan mendorong dari sisi suplai atau pasokan produksinya semata.

"Dengan adanya gerakan ini diharapkan mampu meningkatkan permintaan pangan dari produksi dalam negeri sehingga mendorong produksi dalam negeri oleh petani dan UMKM pengolahan pangan," katanya.

Baca juga: Kemendag: Tahun ke-2 BBI 14 juta UMKM gabung di perdagangan elektronik

Selain itu, ia berpendapat bahwa Gernas BBI sangat penting dan harus bisa mendorong perubahan pemahaman dan perilaku konsumen dalam negeri untuk lebih memilih produk dalam negeri.

Terkait dengan kuliner Indonesia, hal tersebut dinilai baik dalam bentuk makanan maupun minuman juga harus lebih banyak dititikberatkan ke jenis pangan lokal agar selaras dan dapat terwujud dengan tujuan dari Gernas BBI seutuhnya.

Pakar kuliner dan chef senior Yongki Gunawan dalam bincang Festival Pasar Laut Indonesia, bagian dari rangkaian acara Gernas BBI, secara daring yang dipantau di Jakarta, Rabu (8/9), mengingatkan bahwa di sejumlah negara di Asia, seperti Korea dan Thailand, kurikulum masakan yang diajarkan lebih banyak ke hidangan lokal mereka.

"Kalau di Indonesia kebalikannya, 60-70 persen yang diajarkan masakan Barat," katanya.

Yongki mengatakan bila terus dibiarkan seperti itu, maka generasi Nusantara mendatang hanya akan lebih mengenal masakan terkait Jepang, Korea, dan menu dari negara-negara Barat.

Ia menyatakan sejak sekitar 15 tahun yang lalu, dirinya tidak mau berkiblat ke dunia barat, tetapi lebih memilih masuk ke kampung-kampung di daerah Indonesia untuk belajar masak.

Baca juga: Minyeuk Pret, produk UMKM lokal Aceh yang mendunia

Selain itu, dalam melatih kuliner ke berbagai generasi muda, dirinya kerap menasihati untuk jangan selalu membuat menu masakan dari Barat, karena masakan dari Indonesia umurnya relatif sangat panjang, dibanding masakan negara lain yang cenderung bergantung kepada tren.
 

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2021