pembangunan tanggul diperlukan untuk mengatasi ancaman banjir rob atau kenaikan air laut dan penurunan permukaan tanah di Jakarta Utara
Jakarta (ANTARA) - Di tengah situasi pandemi virus corona, perhatian sebagian publik di DKI Jakarta sedikit menoleh ke persoalan lain yang masih terkait dengan kota metropolitan ini.

Yakni ketika Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden menyebutkan bahwa DKI Jakarta dalam kondisi terancam.

Dalam pidatonya di kantor Direktur Intelijen Nasional AS pada 27 Juli lalu, Biden menyebutkan bahwa Jakarta terancam tenggelam. Penyebabnya adalah perubahan iklim yang saat ini sedang menghantui seluruh dunia sehingga Indonesia harus memindahkan Ibu Kota negaranya.

Badan Antariksa AS (NASA) mengatakan meningkatnya suhu global dan lapisan es yang mencair membuat banyak kota di pesisir seperti Jakarta menghadapi risiko banjir. Juga adanya luapan air laut yang semakin besar.

Menurut situs resmi Gedung Putih (White House), whitehouse.gov pada Jumat (30/7), Biden mulai membahas isu perubahan iklim dengan menyampaikan bagaimana masalah tersebut memiliki dampak berbahaya yang sama terhadap semua negara.

Tantangan iklim telah mempercepat ketidakstabilan di AS dan di seluruh dunia. Cuaca ekstrem yang lebih umum dan lebih mematikan, kerawanan pangan dan air serta naiknya permukaan laut, mengakibatkan perubahan iklim dan mendorong migrasi yang lebih besar serta menimbulkan risiko mendasar bagi komunitas yang paling rentan.

Pernyataan itu membuka kembali diskusi dan beragam pembicaraan di sebagian masyarakat. Juga di pihak-pihak terkait yang juga telah membahas hal itu cukup lama.

Walaupun isu lingkungan tersebut sebenarnya sudah lama ada, namun kali ini gaungnya berbeda. Yakni disampaikan oleh seorang presiden di negara adikuasa.

Kalau soal kenaikan air laut dan penurunan tanah sudah lama diakui memang telah terjadi. Para peneliti dan ahli telah meneliti kemudian menyuarakan hal itu.

Baca juga: Anies: Tanggul bukan solusi permanen atasi Jakarta tenggelam

Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI pernah menyampaikan proyeksi permukaan laut pada 2050 dan 2100 akan naik 25-50 sentimeter (cm).

Kenaikan permukaan laut akan mengancam warga kawasan pesisir di Indonesia, seperti Jakarta, Semarang, dan Demak.

LIPI juga membeberkan faktor lain yang ikut mendukung penurunan permukaan tanah Jakarta. Salah satunya akibat pertambahan bangunan dalam skala masif setiap tahun.

Bangunan-bangunan untuk kepentingan industri, perkantoran, perumahan menyebabkan daerah resapan air semakin menipis. Hal itu, kata ahli, perlu ditata ulang oleh pemerintah.

Baca juga: DKI telah siagakan pompa air untuk antisipasi rob akibat gerhana

Tidak tenggelam
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengemukakan pernyataan Joe Biden sejatinya tidak bisa diartikan secara sederhana.

Menurut Anies dalam rekaman webinar Ikatan Institut Teknologi Bandung, Selasa (10/8), pernyataan Biden untuk pertobatan pola berpikir (paradigma) Amerika dari pola berpikir di era Presiden Donald Trump.

Biden sebenarnya sedang mengajak Amerika dan seluruh dunia untuk mengubah paradigma ekonomi yang menginginkan agar keberlangsungan ekonomi harus selaras dengan kelestarian alam.

Selain mengajak Amerika dan negara lain mengubah pola berpikir dalam ekonomi, pernyataan Biden juga memberikan tanda bahwa Indonesia menjadi perhatian dari masyarakat internasional. Indonesia dianggap penting sebagai salah satu tempat yang menunjukkan sehat-tidaknya ekosistem bumi.

Disinggungnya Jakarta akan tenggelam, dapat dimanfaatkan oleh Indonesia untuk bersuara lantang di forum-forum internasional tentang kepedulian dan komitmen terhadap lingkungan.

Baca juga: Ketua DPD singgung pernyataan Biden terkait Jakarta ke dubes AS

Harus diakui bahwa Ibu Kota mengalami penurunan permukaan tanah. Tapi Riza Patria menampik bahwa 10 tahun lagi Jakarta akan tenggelam yang menjadi alasan pemindahan ibu kota negara.

Saat ini Pemprov DKI Jakarta terus mengantisipasi penurunan permukaan tanah dengan berbagai cara. Salah satunya pipanisasi air di Jakarta melalui PAM Jaya.

Juga memastikan program agar banjir rob yang rutin terjadi di Jakarta Utara dapat diatasi dengan baik.

Banjir rob yang sering menggenangi sejumlah kawasan di Jakarta Utara menandakan bahwa posisi tanah di lokasi itu sudah semakin rendah daripada lautan. Jika kondisi itu terus dibiarkan, maka kawasan Jakarta Utara akan semakin cepat tenggelam.
Petugas rekanan Kementerian PUPR melakukan pengukuran koordinat menggunakan alat GPS Geodetik terkait rencana pembangunan tanggul laut di Pelabuhan Kali Adem, Jakarta, Jumat (30/7/2021). Pembangunan tanggul laut tersebut untuk mengantisipasi rob serta meningkatkan kualitas pelayanan serta perekonomian di pelabuhan tersebut. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/foc.

Tanggul
Itulah yang tampaknya mendasari munculnya pembangunan tanggul untuk mengatasi ancaman banjir rob atau kenaikan air laut dan penurunan permukaan tanah di Jakarta Utara.

Pembangunan tanggul itu untuk menahan gelombang laut yang menyebabkan banjir pasang (rob). Hal itu disebabkan sifat air mencari celah dan mencari ruang ke lokasi
yang lebih rendah.

Sebagai upaya mengantisipasi penurunan permukaan tanah di Jakarta dan ancaman banjir rob, pemerintah sejatinya sudah memiliki konsep. Yakni rencana induk Pembangunan Terpadu Pesisir Ibu Kota Negara (PTPIN) atau "National Capital Integrated Coastal Development" (NCICD).

Proyek NCICD itu melibatkan kerja sama tiga negara, yaitu Pemerintah Indonesia, Belanda dan Korea Selatan.

Sesuai NCICD, prioritas pembangunan tanggul adalah fase A sepanjang 20,1 kilometer (km) yang merupakan area kritis. Pelaksana proyek terbagi tiga, yakni Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sebanyak 4,5 km, Pemprov DKI sebanyak 11,5 km dan pihak swasta 15,5 km.

Baca juga: Anggota DPRD DKI minta pernyataan Joe Biden dijadikan masukan positif

Keterlibatan swasta ini merupakan bagian dari kompensasi pembangunan kawasan reklamasi di Teluk Jakarta.

Kementerian PUPR telah selesai membangun 4,5 km di 2018, Pemprov DKI 2,7 km dan swasta 2,1 km. Sebagian tanggul yang telah dibangun swasta ini berada di kawasan GreenBay dan PLTGU Muara Karang sehingga dampak banjir rob di kawasan ini semakin kecil.
Pengamen berkostum boneka duduk di trotoar kawasan Muara Angke, Jakarta Utara, Sabtu (31/7/2021). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/wsj

Bakau
Selain tanggul dari beton, sejak dulu hingga kini, banyak pihak yang berupaya menahan hempasan gelombang atau ombak ke daratan dengan tanaman bakau (mangrove).

Itulah yang dilakukan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) DKI Jakarta. Dalam webinar bertema "Aku, Mangrove dan Masa Depannya" terungkap bahwa mangrove sebagai penahan abrasi yang menggerus daratan Jakarta perlu mendapat perhatian lebih serius.

Ekosistem mangrove yang ikut membentengi Ibu Kota perlu sentuhan perbaikan dan rehabilitasi dalam rangka memitigasi perubahan iklim dan pencegahan rob.

Kondisi hutan mangrove di wilayah Jakarta terus mendapatkan tekanan seiring meluasnya pembangunan di daratan. Situasi itu membuat luas hutan mangrove tidak bertambah dan hanya 476 hektare.

Padahal berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia memiliki ekosistem mangrove terbesar di dunia dengan luas mencapai 3,3 juta hektare.

Luasan tersebut merupakan 23 persen dari total mangrove di dunia. Hutan mangrove Indonesia mampu menyimpan karbon hingga sepertiga dari seluruh karbon yang tersimpan dalam ekosistem pesisir dunia.

Selain sebagai tempat satwa, mangrove juga berfungsi sebagai pelindung pantai, pengendali banjir, mencegah abrasi hingga menahan intrusi air laut.

Mangrove berfungsi pula sebagai tempat wisata alam, pendidikan, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Fungsi lainnya adalah menyerap polutan.
Baca juga: Pakar UGM: Prediksi Jakarta tenggelam 2050, bukan hal mustahil

Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2021