Bogor (ANTARA) - Indonesia memiliki biodiversitas satwa primata paling beragam di dunia, yakni 61 spesies dari 479 spesies satwa primata yang tersebar di seluruh dunia.

"Dari 61 spesies satwa primata di Indonesia, 38 diantaranya adalah spesies endemik, yakni dari 11 genus dan lima famili," kata Guru Besar Fakultas MIPA IPB University, Prof Dr Ir Raden Roro Dyah Perwitasari, MSc, melalui ringkasan orasi ilmiahnya, Jumat.

Prof Dr Ir Raden Roro Dyah Perwitasari, MSc bersama dua profesor lainnya, akan dikukuhkan menjadi guru besar tetap di IPB University oleh Dewan Guru Besar di kampus IPB Dramaga, Bogor, Sabtu (7/8).

Baca juga: Primata hadapi ancaman kehilangan habitat

Dua profesor lainnya adalah Prof Dr Eng Uju SPi MSi dari Departemen Teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan Kelautan dan Prof Dr Ir Titi Candra Sunarti, MSi; dari Dapertemen Teknologi Industri Fakultas Teknologi Pertanian.

Menurut Raden Roro Dyah Perwitasari yang akrab disapa Wita, hampir di semua wilayah geografi di Indonesia ditemukan satwa primata asli, kecuali di Papua. "Satwa primata endemik terbanyak berada di Sulawesi dan Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat,” katanya.

Seiring bertambahnya penduduk dan kemajuan teknologi, satwa primata di Indonesia menghadapi ancaman kehilangan habitat, akibat perubahan iklim dan aktivitas manusia.

"Konservasi genetik dan aplikasinya, untuk konservasi satwa primata menjadi sangat penting sebelum satwa primata itu punah tanpa data biologi yang lengkap dan rinci," katanya.

Wita menjelaskan konservasi genetik dalam dua dekade terakhir menjadi alat yang berguna pada semua pengambilan keputusan terkait dengan konservasi alam. "Konservasi genetik satwa primata bertujuan untuk mengurangi risiko kepunahan dengan memperhatikan proses genetik dan melestarikan potensi adaptasi spesies," ujarnya.

Baca juga: IAR Indonesia lepasliarkan 24 primata ke Lampung

Dosen di Departemen Biolofi Fakultas MIPA ini mengatakan DNA satwa primata di Indonesia untuk memetakan dan mengelompokkan pada konservasi genetiknya. Tarsius dan monyet ekor panjang Sulawesi, dianggap sebagai hotspot keanekaragaman hayati.

Posisi geografis dan isolasi biogeografi Sulawesi, berkontribusi pada jumlah spesies mamalia endemik yang tinggi, salah satu satwa primata endemik di Sulawesi, yakni nokturnal terkecil di dunia, masuk kelompok tarsius.

Saat ini, kelompok tarsius masuk dalam Daftar Merah IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) dan dilindungi melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) RI.

Dari studi molekuler, Prof Wita berhasil mengungkap hibridisasi alami yang terjadi antar-dua spesies Tarsius yang mempunyai habitat berbatasan, yakni Tarsius lariang dan Tarsius dentatus.

Berdasarkan analisis berbagai marka genetik, warna rambut, rambut ekor, dan vokalisasi, ditemukan spesies baru yang diberi nama Tarsius wallacei sp. nov. Penamaan ini untuk menghormati Alfred Russel Wallace, naturalis Inggris dan salah satu penemu seleksi alam.

"Identifikasi spesies Tarsius juga dilakukan di penangkaran Pusat Studi Satwa Primata (PSSP), Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB University.

Identifikasi dilakukan secara molekuler menggunakan sampel non-invasif, berupa feses, untuk memastikan nama spesies Tarsius tersebut. Tujuannya agar tidak terjadi kesalahan dalam memasangkan individu di kegiatan reproduksi.

"Analisis DNA mitokondria menunjukkan di penangkaran ada dua spesies Tarsius, yaitu Tarsius spectrumgurskyae dan dua Cephalopachus bancanus,” paparnya.

Baca juga: Kuliah singkat satwa primata IPB University diikuti peserta 21 negara

Baca juga: Sekitar 60 persen spesies primata terancam punah


Selain Tarsius, Prof Wita juga meneliti aspek genetik pada monyet ekor panjang yang ditemukan di Papua. Papua tidak termasuk ke dalam distribusi geografik alami monyet ekor panjang di Indonesia.

Karena itu, monyet ekor panjang di Papua, secara definisi, dapat disebut sebagai spesies eksotik atau asing. Berdasarkan rekonstruksi pohon filogenetik DNA mitokondria, sampel Papua mengelompok dengan sampel Kalimantan bersama-sama dengan haplotipe dari pulau Jawa, Timor, Mauritius, dan Filipina.

Dari hasil risetnya ini, Prof Wita menyimpulkan bahwa komponen kunci dalam konservasi genetik adalah pengembangan metode molekuler non-invasif untuk asesmen dan memonitor populasi satwa primata liar. Sumber DNA non-invasif yang paling umum digunakan yaitu rambut dan feses.

Pewarta: Riza Harahap
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2021