Alih-alih terus berfokus pada kebijakan lokalisasi, pemerintah seharusnya fokus pada membangun ekosistem inovasi bisnis dalam negeri.
Jakarta (ANTARA) - Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Andree Surianta menganggap kebijakan industri farmasi di Indonesia tak kunjung membangkitkan baik investasi maupun inovasi meski terdapat berbagai kebijakan lokalisasi.

“Dimulai dengan Daftar Negatif Investasi (DNI) 2007 yang membatasi kepemilikan asing maksimal 75 persen di sektor ini. Tak lama setelah itu muncul Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1010/2008 yang mewajibkan semua obat yang terdaftar di Indonesia diproduksi secara lokal,” ujar Andree di Jakarta, Jumat.

Menurut dia, alasan di balik berbagai kebijakan ini adalah mendorong transfer teknologi dan meningkatkan kapasitas produksi lokal. Namun, baik realisasi investasi asing maupun investasi dalam negeri justru menurun setelah kebijakan lokalisasi dikeluarkan.

Pada tahun 2016, disebutkan sempat terjadi relaksasi yang berarti kepemilikan asing diijinkan 100 persen untuk manufaktur bahan baku obat dan 85 persen untuk produksi obat-obatan.

Tetapi, regulasi ini segera diikuti Instruksi Presiden (Inpres) 6/2016 kepada 12 kementerian dan lembaga untuk mengembangkan industri farmasi melalui berbagai kebijakan lokalisasi, misalnya dengan mengatur kandungan lokal, memprioritaskan produk lokal dan mematok harga.
Baca juga: KPPU masih temukan kelangkaan obat terapi COVID-19 di berbagai daerah

Meskipun Perpres 10/2021 mengenai investasi yang mengimplementasikan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja tidak lagi membatasi kepemilikan asing di pabrik farmasi, terang Andree, tetapi lokalisasi Inpres 6/2016 masih menyebabkan munculnya berbagai peraturan menteri yang restriktif.

Dia memberikan contoh terkait peraturan mengenai cara perhitungan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) obat-obatan.

Namun, lanjutnya, adanya Peraturan Menteri Perindustrian 16/2020 yang dikeluarkan di tengah pandemi COVID-19 dinilai perlu diperhatikan agar jangan sampai membuat obat menjadi langka karena industri farmasi lokal masih sangat bergantung pada bahan baku impor.

““Ratusan bahan dasar dibutuhkan dalam memformulasikan sebuah obat, termasuk vaksin, sementara tidak semua bahan tersebut dibuat di Indonesia. Penerapan TKDN bisa mempersulit produsen, bahkan lokal sekalipun, untuk mengembangkan kapasitas,” ucap Andree.
Baca juga: KPPU usul reformulasi HET obat COVID agar peritel dapat margin wajar

Alih-alih proteksionis, kata dia, pemerintah idealnya membuka jalur impor untuk bahan baku obat-obatan. Hal ini disebabkan anggapan bahwa target vaksinasi yang terus bertambah tidak sebanding dengan ketersediaan pasokan vaksin maupun distribusinya.

Dia merasa Indonesia perlu mengevaluasi kebijakan sektor farmasi untuk lebih mendorong inovasi yang dipandang sebagai kunci perkembangan sektor ini, terutama untuk mendukung penelitian dan pengembangan vaksin COVID-19, yang sejauh ini sepenuhnya diimpor.

“Alih-alih terus berfokus pada kebijakan lokalisasi, pemerintah seharusnya fokus pada membangun ekosistem inovasi bisnis dalam negeri,” ujar Andree.

Baca juga: Industri kesehatan dinilai perlu kolaborasi untuk mandiri
Baca juga: GP Farmasi tingkatkan kapasitas produksi untuk penuhi kebutuhan obat


Pewarta: M Baqir Idrus Alatas/M Razi Rahman
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2021