Jakarta (ANTARA) - Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia Sukarno Alatas menyarankan investor untuk mencermati prospek saham PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) meski saham perusahaan rintisan (startup) berstatus unicorn tersebut dikabarkan banyak peminatnya.

"Coba pelajari minat masyarakat dalam menggunakan Bukalapak ini dibandingkan pesaingnya. Karena di sini kita bisa melihat juga peluang ke depannya untuk Bukalapak, apakah masih ada peluang untuk bisa meningkatkan kinerja dan bisa menghasilkan laba," ujar Sukarno saat dihubungi di Jakarta, Jumat.

Bukalapak melepas 25,76 miliar lembar saham biasa atas nama yang seluruhnya adalah saham baru atau 25 persen dari modal ditempatkan dan disetor perseroan setelah penawaran umum perdana saham atau Initial Public Offering (IPO). Jumlah seluruh nilai IPO saham tersebut mencapai Rp21,9 triliun.

Bukalapak telah menetapkan harga IPO sebesar Rp850 per saham yang merupakan batas atas harga yang ditawarkan kepada masyarakat pada penawaran awal yang berada di kisaran Rp750 per saham hingga Rp850 per saham.

Baca juga: Setelah Bukalapak, GoTo diprediksi akan menyusul IPO tahun ini

Masa penawaran umum perdana saham dimulai pada Rabu (28/7) lalu hingga Jumat ini yang merupakan hari terakhir masa penawaran. Investor baik institusi maupun ritel dikabarkan membludak di mana saham Bukalapak dikabarkan mengalami kelebihan permintaan atau oversubscribed hingga empat kali. Di platform milik sebuah perusahaan sekuritas, investor ritel yang memesan saham Bukalapak mencapai puluhan ribu investor.

Kendati demikian, Sukarno mengingatkan investor untuk berhati-hati dan memantau harga saham Bukalapak setelah pencatatan perdana atau listing di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 6 Agustus 2021 mendatang.

"Animo investor jika dilihat dari permintaan yang oversubscribed bisa dibilang bagus dengan kondisi emisi yang terbilang besar. Tapi tetap hati-hati setelah listing nanti, jika hari pertama tidak mampu langsung menguat," kata Sukarno.

Salah seorang investor, Dwitya Putra, mengaku tertarik membeli saham BUKA karena optimistis perusahaan all-commerce tersebut perlahan tapi pasti akan memiliki kinerja positif walau saat ini masih merugi.

Berdasarkan laporan keuangan per Desember 2020, Bukalapak tercatat masih mengalami kerugian Rp1,35 triliun, membaik 51,7 persen dibandingkan tahun sebelumnya Rp2,79 triliun. Kerugian tersebut seiring dengan masih tingginya beban penjualan dan pemasaran yang mencapai Rp1,51 triliun dan juga beban umum dan administrasi Rp1,49 triliun. Sementara pendapatan Bukalapak pada 2020 mencapai Rp1,35 triliun, naik 25,56 persen dibandingkan 2019 Rp1,07 triliun.

Baca juga: Bukalapak tetapkan harga IPO Rp850 per saham

Sementara itu, total aset konsolidasian perseroan pada per akhir Desember 2020 mencapai Rp2,59 triliun, naik 26,29 persen dari tahun sebelumnya Rp2,05 triliun. Kenaikan total aset konsolidasian perseroan terutama disebabkan oleh kenaikan kas dan setara kas konsolidasian sebesar 67,93 persen atau senilai Rp600 miliar, serta kenaikan aset pajak tangguhan konsolidasian senilai Rp477,79 miliar.

"Selain masuk daftar efek syariah, saham berbau teknologi sedang naik daun. Insya Allah, perusahaan rugi ke depan bisa jadi untung," ujar Dwitya.

Selama 11 tahun perkembangannya, Bukalapak mengklaim memiliki model bisnis yang terbukti sehat. Pada 2020, total processing value (TPV) perseroan mencapai Rp85 triliun. Hingga 31 Desember 2020, jumlah pengguna yang terdaftar sebanyak 104,9 juta. Adapun dari TPV tersebut, sekitar 70 persen transaksi berasal dari kota-kota di luar wilayah tier 1. Menurut Rachmat, hal tersebut mengindikasikan fokus Bukalapak dalam hal pemerataan ekonomi nasional.

Chief Executive Officer PT Bukalapak.com Tbk Rachmat Kaimuddin mengatakan, Bukalapak bertumbuh dengan performa finansial yang terus meningkat, strategi bisnis yang efektif, dan didukung oleh potensi pasar yang besar. Dari 2018 hingga 2020, rata-rata tingkat pertumbuhan tahunan (compound annual growth rate/CAGR) pendapatan perseroan mencapai 115 persen. Pada 2020, pendapatan Bukalapak sebesar Rp1,35 triliun.

Tahun ini, Bukalapak terus berkembang menjadi perusahaan teknologi yang tidak hanya memberikan manfaat bagi UMKM secara daring, tapi juga melalui platform dan layanan luring. Perseroan memiliki rekam jejak program online to offline (O2O) yang dikenal dengan nama Mitra Bukalapak yang telah terbukti menunjukkan hasil yang bertumbuh secara signifikan. Pertumbuhan pendapatan mitra Bukalapak dari 2018 hingga 2020 lebih dari 1.200 persen.

Berdasarkan riset Frost & Sullivan, Bukalapak merupakan platform e-commerce yang paling banyak memiliki jaringan mitra di Indonesia. Tahun lalu, sekitar 27 persen dari TPV Bukalapak berasal dari mitra. Per akhir Desember 2020, jumlah mitra yang terdaftar sebanyak 6,9 juta dengan pertumbuhan penjualan per mitra setelah bergabung mencapai tiga kali lipat, berdasarkan estimasi internal perusahaan.

Meski demikian, investor lainnya Abdul Hanan, mengaku tidak tertarik membeli saham BUKA karena unicorn tersebut masih mengalami kerugian dan harga sahamnya dinilai terlalu tinggi dibanding valuasi wajarnya. Namun, ia tidak menutup kemungkinan membeli saham BUKA apabila kinerja perusahaan ke depan semakin membaik.

"Aku wait and see. Kalau suatu hari nanti kinerja perusahaan bertambah baik dan nilai sahamnya berada di harga wajar, aku mungkin akan masuk. Tapi untuk sekarang enggak dulu," ujar Abdul.

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021