Jakarta (ANTARA) - Perwakilan 75 orang pegawai KPK yang tidak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK) mempertimbangkan upaya hukum untuk memeriksa motif temuan malaadministrasi dalam pelaksanaan alih status menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).

"Ada tiga kata kunci pada temuan yang kami anggap serius, pertama malaadministrasi, kedua pelanggaran prosedural dan ketiga yang amat serius adalah penyalahgunaan wewenang. Terkait dengan tiga kata kunci ini, kami mempertimbangkan upaya hukum lebih lanjut untuk mendorong adanya pemeriksaan terkait motif dilakukannya pelanggaran serius tersebut," kata perwakilan pegawai Rasamala Aritonang dalam konferensi pers virtual di Jakarta, Rabu.

Pada hari ini Ombudsman Republik Indonesia menyatakan terdapat malaadministrasi dalam pelaksanaan TWK pegawai KPK untuk menjadi ASN, malaadministrasi tersebut ditemukan mulai dari pembentukan dasar hukum, pelaksanaan TWK, hingga penetapan hasilnya.

"Motif ini penting untuk menilai tujuan tindakan melawan hukum yang telah mengakibatkan kerugian, tidak saja terhadap 75 pegawai tetapi juga terhadap upaya pemberantasan korupsi dalam makna yang lebih luas," ungkap Rasamala.

Rasamala mempertanyakan apa motif Kepala Biro Hukum KPK dan Direktur Perundangan Kemkumham yang menandatangani berita acara yang rapatnya tidak mereka hadiri, melainkan dihadiri oleh para Pimpinan lembaga?

"Dan apa motif para Pimpinan lembaga dalam hal ini Ketua KPK, Kepala BKN, KemenPAN-RB, Kepala LAN, dan Kemenkumham, yang tidak mau menandatangani rapat yang mereka hadiri?" ungkap Rasamala.

Baca juga: KPK hormati hasil pemeriksaan Ombudsman terkait alih status pegawai

Baca juga: Ombudsman minta 75 pegawai KPK tidak lolos TWK dialihkan menjadi ASN


Selanjutnya apa motif Kepala BKN mengajukan diri untuk melaksanakan asesmen TWK, padahal mengetahui lembaganya tidak berkompeten, bahkan tidak memiliki instrumen dalam melaksanakannya.

"Kemudian dokumen kontrak yang tanggalnya dengan sengaja dibuat mundur atau 'back date'. Motif ini perlu didalami serius apa tujuannya dan unsur kesengajaan di dalamnya. Pendalaman lebih lanjut ini penting untuk melihat adanya indikasi dan berbagai kemungkinan, termasuk potensi pelanggaran pidana," papar Rasamala.

Menurut Rasamala, laporan hasil pemeriksaan dan tindakan korektif yang disampaikan Ombudsman secara etik moral telah mengikat, dan seharusnya dilaksanakan oleh para pihak terlapor.

"Demikian pula secara hukum, hasil temuan tersebut adalah keputusan hukum yang diterbitkan lembaga negara yang harus dihormati dan dilaksanakan oleh semua pihak terutama lembaga penegak hukum," ungkap Rasamala.

Ia pun mempertimbangkan langkah hukum selanjutnya pasca-temuan Ombudsman tersebut, termasuk melapor kepada Kepolisian Republik Indonesia.

"Kami mempertimbangkan pelanggaran yang lebih serius misalnya terkait pelanggaran etik untuk pimpinan KPK bisa ke Dewas KPK tapi kalau ditemukan bukti yang kuat tentu yang punya kewenangan memroses adalah pihak kepolisian yaitu bila dari 75 pegawai yang dinyatakan tidak lulus terkait dengan penyidikan atau penyelidikan yang sedang dikerjakan tentu ada norma pidana-nya yaitu menghalangi penyidikan dapat dilaporkan ke kepolisian atau juga KPK," tutur Rasamala.

Langkah lanjutan tersebut akan dilakukan sebelum 30 Oktober 2021 karena Ombudsman RI menyatakan terhadap 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos TWK harus dialihkan statusnya menjadi pegawai ASN sebelum 30 Oktober 2021.

"Pimpinan KPK dengan kewenangan luar biasa telah melakukan perbuatan penyalahgunaan wewenang sudah sepantasnya untuk diberhentikan sementara. Saya yakin semua udah tahu bahwa orang yang bekerja di tengah jalan tidak bisa diberhentikan hanya dengan melakukan TWK, apa motif di balik semua ini," kata perwakilan pegawai KPK Hotman Tambunan dalam acara yang sama.

Baca juga: Firli lepas 18 pegawai ikuti diklat bela negara-wawasan kebangsaan

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021