keterbatasan informasi dan akses pengobatan menjadi kendala
Jakarta (ANTARA) - Tantangan geografis menjadi persoalan bagi para penyandang hemofilia saat harus menjalani pengobatan di rumah sakit untuk menangani pendarahan, kata Ketua Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia, Djajadiman Gatot.

Dari keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat, Djajadiman mengungkap, seorang penyandang hemofilia yang mengalami pendarahan masih kesulitan untuk mendatangi fasilitas kesehatan yang masih terpusat di kota-kota besar.

"Pengobatan hemofilia di Indonesia saat ini dilakukan dengan pemberian faktor pembekuan darah (faktor VIII/IX) secara infus ketika ada pendarahan atau disebut juga on-demand, dan harus diberikan di rumah sakit," katanya.

Ia mengatakan, terapi pencegahan atau profilaksis serta pengobatan anti inhibitor adalah salah satu solusi untuk menjawab tantangan yang dihadapi pasien hemofilia untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik.

Profilaksis disebut juga sebagai terapi pencegahan, merupakan metode pengobatan hemofilia di mana obat diberikan secara rutin untuk mencegah terjadinya pendarahan berulang dan kecacatan yang menyebabkan kualitas hidup pasien menjadi menurun.

Baca juga: Indonesia berjuang bisa berikan profilaksis untuk pasien hemofilia

Profilaksis tercantum dalam panduan penanganan hemofilia dunia yang dikeluarkan oleh Badan Hemofilia Dunia (World Federation of Hemophilia) dan telah menjadi standar pengobatan hemofilia di berbagai negara untuk mengurangi atau mencegah pendarahan, serta mengurangi konsekuensi dari perawatan hemofilia yang tidak memadai.

Di Indonesia, terapi profilaksis sebagai bagian dari tata laksana hemofilia telah masuk dalam Panduan Nasional Penanganan Kedokteran (PNPK) mengenai Tata Laksana Hemofilia yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan pada 2021.

"Ketentuan itu menjadi panduan standar bagi tenaga kesehatan di seluruh Indonesia dalam melakukan penanganan hemofilia," katanya.

Saat ini pengobatan hemofilia sudah masuk dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), namun masih terdapat kendala terkait jumlah obat dan dosis yang masih belum memadai.

"Keterbatasan INA-CBG paket pasien hemofilia, sehingga masih banyak ditemui pasien yang mengalami kerusakan sendi, perdarahan berat seperti pendarahan otak dan organ dalam yang berisiko kematian," katanya.

Baca juga: Hemofilia bukan perdarahan tak berhenti tetapi lebih lama

Djajadiman mengatakan akses terhadap profilaksis dalam jaminan kesehatan nasional merupakan solusi terhadap tantangan yang dihadapi pasien maupun tenaga kesehatan untuk mewujudkan penanganan hemofilia yang lebih optimal, serta dapat menghemat anggaran JKN dalam biaya penanganan pendarahan yang sering terjadi akibat terapi on demand yang ada saat ini.

Di antara para penyandang hemofilia, sejumlah pasien memiliki hemofilia berat atau mengalami pendarahan yang lebih sering. Selain itu, beberapa juga mengalami penolakan dari tubuhnya terhadap obat faktor pembekuan darah (faktor VIII) yang diberikan, disebabkan oleh timbulnya inhibitor atau zat anti terhadap faktor pembekuan yang diberikan.

Djajadiman mengatakan pasien hemofilia berat dengan inhibitor ini memiliki risiko lebih tinggi mengalami kecacatan akibat pendarahan berulang, penurunan kualitas hidup karena keterbatasan mobilitas hingga kematian.

"Bagi pasien hemofilia dengan inhibitor, keterbatasan informasi dan akses pengobatan menjadi kendala. Pasien dengan inhibitor membutuhkan pengobatan anti inhibitor berupa obat pengganti faktor VIII," katanya.

Obat pengganti faktor VIII ini merupakan bentuk pengobatan inovatif yang telah ada di Indonesia namun saat belum masuk dalam jaminan kesehatan nasional. "Akses pengobatan dalam JKN bagi pasien dengan inhibitor ini juga sangat dibutuhkan," katanya.

Baca juga: Waspadai hemofilia yang tak ditangani bisa mematikan

Hemofilia merupakan penyakit kelainan darah langka yang dapat menyebabkan efek serius hingga membahayakan jiwa penderitanya.

Berdasarkan laporan HMHI pada 2020, 2.706 orang di Indonesia menderita hemofilia, 58 persen di antaranya dialami oleh anak-anak berusia 0-18 tahun. Sebanyak 82 persen atau sejumlah 2.214 penyandang hemofilia di Indonesia memiliki jenis hemofilia A dan sisanya adalah hemofilia B.

Penyandang hemofilia A kekurangan faktor pembekuan darah VIII (faktor VIII) yang sebagian besar diturunkan secara genetik. Penyandang hemofilia memiliki risiko kesehatan yang serius berupa pembengkakan sendi, kecacatan hingga membahayakan jiwa, terutama bagi anak-anak.

Kondisi ini seringkali membatasi mereka untuk dapat beraktivitas normal seperti anak-anak lainnya.

Baca juga: Mengenali gejala hemofilia
Baca juga: Octapharma donasikan 30,5 juta obat Nuwiq untuk penderita hemofilia di negara-negara berkembang

Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2021