Sepanjang penegak hukum meyakini aset itu tercemar akibat praktik korupsi, seketika dapat disita dan disidangkan, kemudian dapat dirampas oleh Negara.
Jakarta (ANTARA) - Indonesia Corruption Watch (ICW) menyayangkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset tidak masuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 yang telah ditetapkan DPR.

Padahal, menurut dia, RUU tersebut menjadi suplemen penting untuk menunjang aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi.

"Nantinya, jika RUU Perampasan Aset ini disahkan, penegak hukum tidak kesulitan lagi jika menghadapi pelaku korupsi yang melarikan diri sebab objek pemeriksaan di persidangan adalah aset itu sendiri, bukan individu pelaku," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana di Jakarta, Rabu.

Kurnia mengakui ICW tidak kaget melihat daftar Prolegnas Prioritas 2021 yang tidak kunjung memasukkan RUU Perampasan Aset sebab sejak awal pembentuk undang-undang (pemerintah dan DPR) memang hanya memprioritaskan waktu dan tenaganya untuk membahas regulasi-regulasi yang kontroversial dan melemahkan pemberantasan korupsi seperti revisi UU KPK dan UU Cipta Kerja.

"Hal itu berakibat merosotnya poin dan peringkat Indonesia dalam indeks persepsi korupsi yang beberapa waktu lalu disampaikan oleh Transparency International Indonesia," ungkap Kurnia.

Baca juga: DPR minta PPATK berkoordinasi prioritaskan bahas RUU Perampasan Aset

Padahal, bila RUU Peramapasan Aset disahkan, metode pembuktian kejahatan korupsi dapat lebih sederhana.

"Tidak lagi menganut model hukum pidana, tetapi berpindah pada ranah perdata. Terlebih lagi, langkah hukum penyitaan tidak harus memikirkan kesalahan pelaku," kata Kurnia.

Akan tetapi, lanjut dia, sepanjang penegak hukum meyakini aset itu tercemar akibat praktik korupsi, seketika dapat disita dan disidangkan, kemudian dapat dirampas oleh Negara.

Menurut Kurnia, data ICW pada pemantauan persidangan perkara korupsi selama 2020 membuktikan bahwa mengedepankan pendekatan hukum pidana tidak menyelesaikan persoalan pemulihan kerugian keuangan negara.

Selain prosesnya panjang, menurut dia, pembuktiannya sulit, ditambah lagi putusan hakim juga tidak kunjung mengakomodasi pengenaan pidana tambahan uang pengganti yang maksimal.

"Jika terus-menerus seperti ini, dalam konteks ekonomi, Indonesia akan selalu rugi dalam menangani perkara korupsi," kata Kurnia.

Baca juga: PPATK minta dukungan DPR terkait RUU Perampasan Aset Tindak Pidana

Dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR pada hari Rabu (24/3), Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae meminta dukungan Komisi III DPR untuk melakukan pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal.

Dian menyakini kedua RUU tersebut bisa mengoptimalkan pengembalian uang negara dari tindak pidana korupsi, narkoba, perpajakan, kepabeanan, cukai, dan motif ekonomi lain.

Menurut Dian, tanpa kedua RUU tersebut, Indonesia memiliki kekosongan hukum yang sering digunakan dan dimanfaatkan para pelaku untuk menyembunyikan dan menyamarkan tindak pidana lalu dinikmati kembali ketika selesai menjalani masa hukuman.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021