Jakarta (ANTARA) - Hemofilia atau penyakit kelainan darah yakni saat darah tidak dapat membeku seperti seharusnya bisa menyebabkan penderitanya mengalami episode perdarahan yang lama dan bahkan tidak terkendali akibat benturan ringan ataupun pendarahan spontan.

Ketua Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI), Prof. dr. Djajadiman Gatot di sela Kongres Nasional HMHI ke-6 Virtual Summit, Sabtu, mengatakan, kondisi yang sebagian besar diturunkan secara genetis melalui anak laki-laki ini bisa menyebabkan cacat fisik permanen termasuk kerusakan sendi hingga kematian pada penderitanya.

Baca juga: Mengenali gejala hemofilia

"Hemofilia merupakan suatu kelainan perdarahan yang diturunkan secara genetik dan penyandanganya bisa mengalami perdarahan tanpa atau dengan trauma. Biasanya apabila dengan trauma menandakan penyandangnya mengalami penyakit cukup berat dan jika tidak ditangani bisa menyebabkan cacat fisik permanen atau bahkan berakibat kematian," tutur dia.

Laman Healthline mencatat, orang dengan hemofilia dapat mengalami pendarahan spontan atau internal dan seringkali mengalami nyeri, sendi bengkak karena pendarahan pada sendi. Pada anak-anak dengan hemofilia, gejala-gejala ini dapat terjadi sekitar usia 2 tahun.

Lebih lanjut, perdarahan spontan dapat menyebabkan sejumlah masalah antara lain: darah dalam urin dan tinja, gusi berdarah, sering mimisan dan persendian yang kencang.

Baca juga: Pertolongan pertama untuk hemofilia

Namun, apabila hemofilia ditatalaksana dengan baik, maka kualitas hidup penyandangnya dapat seperti normal.

Hanya saja, menurut Djajadiman yang mengambil spesialisasi anak di Departemen Medik Ilmu Kesehatan Anak RSCM itu, masih ada sejumlah hambatan dalam pengobatan hemofilia di Indonesia, salah satunya biaya yang relatif sangat mahal.

Walau begitu, pengobatan saat ini didukung melalui jaminan kesehatan nasional sehingga penyandang hemofilia di Indonesia dapat memperoleh pengobatan faktor pembekuan yang dibutuhkan meskipun jumlahnya masih terbatas.

Di sisi lain, masih banyak penyandang hemofilia yang diobati di bawah standar pengobatan sehingga masih banyak pasien mengalami kerusakan sendi ataupun perdarahan berat yang berisiko kematian.

"Salah satu penyulit penanganan hemofilia adalah terbentuknya inhibitor yang menetralisir faktor pembekuan sehingga membutuhkan pengobatan lain yang harganya menjadi jauh lebih mahal," kata Djajadiman.

Baca juga: Memahami pembekuan darah akibat COVID-19

Di samping itu pemberian profilaksis atau prosedur kesehatan untuk mencegah penyakit seperti yang dilakukan di negara lain belum dapat dilaksanakan.

Diagnosis hemofilia melalui Parameter Prothrombin Time (PT) dan Activated Partial Thromboplastin Time (APTT) untuk mengevaluasi kelainan perdarahan saat ini baru bisa dilakukan di RSUD, lalu pemeriksaan faktor pembekuan di rumah sakit besar harganya cukup mahal terutama apabila ada tambahan misalnya MRI.

Secara statistik diperkirakan terdapat sekitar 20.000-25.000 penyandang hemofilia di Indonesia, namun baru 2300 orang penyandang atau 10 persen pasien yang terdiagnosis dan mendapatkan pengobatan.

Djajadiman berharap penyelenggaraan Kongres Nasional Hemofilia ini dengan tema "Road to a better hemophilia care" dapat menjadi awal sarana interaksi yang berkesinambungan bagi semua pemangku kebijakan dan pihak-pihak yang terlibat dalam penanganan hemofilia di Indonesia untuk bersama-sama mencari solusi yang terbaik.

"Kami HMHI sangat mengharapkan dukungan pemerintah dalam upaya peningkatan penanganan hemofilia secara komprehensif di semua jenjang pelayanan kesehatan dan dukungan kebijakan pembiayaan untuk penanganan hemofilia yang optimal serta pelaksanaan registrasi hemofilia," kata dia.


Baca juga: Kekuatan vitamin K dan sumber makanannya

Baca juga: Relaksasi tungkai bawah bantu halau darah beku

Baca juga: Terlalu lama duduk bisa picu terjadinya pembekuan darah

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2021