Jakarta (ANTARA) - Akademisi Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menyebut aturan terbaru mengatur Mahkamah Konstitusi memeriksa perkara sengketa hasil pilkada lebih mengarah ke substansi, termasuk pelanggaran yang sistematis, terstruktur dan masif (TSM).

Dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis, Feri Amsari menilai Mahkamah Konstitusi tidak lagi sekadar memutuskan perkara dari sisi formal dan materi gugatan.

Mahkamah Konstitusi wajib mendetail dalam memutus perkara kecurangan dalam pelaksanaan pilkada, misalnya apabila terdapat kecurangan TSM yang mempengaruhi hasil perolehan suara para peserta pilkada.

"Tentu Mahkamah hendak menyigi permasalahan substansi dalam pilkada, terutama terkait kecurangan penyelenggaraan, baik yang terstruktur, sistematis, dan masif, maupun kecurangan yang mempengaruhi hasil pilkada," ujar Feri Amsari.

Baca juga: Kuasa hukum sebut pelanggaran TSM di pilkada bukan kewenangan MK

Adapun Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6 Tahun 2020 mengatur objek dalam perkara perselisihan hasil pemilihan adalah penetapan perolehan suara hasil pemilihan yang signifikan dan dapat mempengaruhi penetapan calon terpilih.

Sementara dalam sidang pemeriksaan pendahulan, sebagian besar KPU yang menjadi termohon dalam sengketa hasil pilkada meminta Mahkamah Konstitusi tidak menerima permohonan pemohon yang mendalilkan adanya pelanggaran TSM.

Pelanggaran TSM disebut bukan wewenang Mahkamah Konstitusi untuk memutus, melainkan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu yang bertugas dalam mengawasi.

Sebelumnya, Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini meyakini Mahkamah Konstitusi telah berupaya mewujudkan keadilan substantif melalui PMK Nomor 6 Tahun 2020 dan PMK Nomor 7 dan 8 Tahun 2020 yang tetap memberi kesempatan pada pemohon untuk menyampaikan dalil-dalinya terlebih dahulu.

Ia pun berharap Mahkamah Konstitusi terus menggali dalam persidangan agar penyelesaian perselisihan hasil pilkada memberikan keputusan yang bukan sekadar menghitung angka-angka.

Sebelumnya, pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota Banjarmasin Ananda-Mushaffa Zakir meminta Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan hasil rekapitulasi penghitungan suara KPU Kota Banjarmasin. 

Pengacara pasangan Ananda-Mushaffa, Sulaiman Sembiring mengatakan pihaknya telah melaporkan dugaan politik uang ke Bawaslu Kota Banjarmasin yang hasilnya terbukti terjadi "money politic". 

Baca juga: Sidang MK, ahli jelaskan solusi praktis untuk pelanggaran TSM

Sulaiman menduga terjadi politik uang yang terstruktur, sistematis, dan masif pada Pilkada Kota Banjarmasin 2020. 

Sulaiman yang berasal dari Kantor Pengacara Widjojanto & Sonhadji Associates itu, akan menyampaikan bukti kuat dugaan pelanggaran yang dilakukan salah satu pasangan calon saat sidang Pemeriksaan Persidangan di MK pada Senin (1/2). 

Sulaiman menyayangkan hasil keputusan Bawaslu Kota Banjarmasin yang membuktikan adanya politik uang tidak menjadi dasar bagi lembaga penyelenggara pemilu mendiskualifikasi hasil Pikada setempat. 

Bawaslu hanya menjerat dua orang Aparatur Sipil Negara (ASN), yakni Keduanya Lurah dan Kepala Sekolah Dasar Negeri yang terbukti terlibat politik uang sebagai salah satu tim pemenangan pasangan calon. 

“Kami meyakini Majelis Hakim MK merupakan orang-orang terpilih dan sangat professional dan melihat berbagai fakta-fakta pelanggaran Pilkada Banjarmasin dari hal yang substantif seperti politik uang," ujar Sulaiman.

Baca juga: Bawaslu belum mau komentari kekeliruan dalil TSM

Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021