Jakarta (ANTARA) - Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila Prof Eddy Pratomo mengatakan pemberlakuan UU "Coast Guard" (Penjaga Pantai) oleh China yang mengatur penggunaan kekerasan oleh penjaga pantai dapat memicu ketegangan di wilayah Laut China Selatan (LCS).

"Undang-undang tersebut sangat ekspansif dan mengatur wilayah perairan di Laut China Selatan yang tidak berdasarkan Hukum Internasional, khususnya Hukum Laut Internasional," kata Prof Eddy Pratomo dalam keterangannya, Senin.

China mensahkan Undang-Undang Coast Guard pada Jumat (22/1) yang memungkinkan China mengambil tindakan yang diperlukan, termasuk penggunaan senjata ketika kedaulatan nasional, hak kedaulatan, dan yurisdiksi dilanggar secara ilegal oleh organisasi atau individu asing di laut.

Baca juga: Menlu RI-AS tegaskan hormati hukum internasional di LCS
Baca juga: AS akan temukan "cara baru" untuk bekerja sama dengan RI di LCS
Baca juga: Kemlu RI: Ada penolakan klaim China atas LCS dari "non-claimant" ASEAN


Prof Eddy yang juga Guru Besar Hukum Internasional Universitas Diponegoro Semarang itu mengatakan ruang lingkup UU ini secara implisit menegaskan kembali, klaim yang dikaitkan dengan prinsip sembilan garis putus-putus adalah klaim yang tidak memiliki dasar hukum sehingga tidak dapat dijadikan pegangan dalam mengatur suatu wilayah di Laut China Selatan.

Hal ini terlihat dari penggunaan istilah yang ambigu tentang ruang lingkup berlakunya UU ini yang memasukkan "other waters under the jurisdiction of the PRC" dan "internal sea".

Kalimat "other waters under the jurisdiction of the PRC" dan "internal sea" sangat rancu dan dicurigai sebagai klaim terselubung yang dikenal dengan sembilan garis putus putus (nine dashed line) yang sudah dinyatakan tidak sah oleh Tribunal UNCLOS LCS pada tahun 2016.

Negara-negara yang selama ini menolak klaim sembilan garis putus putus, termasuk Indonesia perlu menyampaikan sikap yang kritis dan protes terhadap UU ini.

Undang-undang tersebut dapat memicu ketegangan di wilayah Laut China Selatan terutama terhadap negara-negara di kawasan baik yang menolak klaim sembilan garis putus putus maupun terhadap yang memiliki tumpang tindih klaim dengan RRT. UU tersebut berpotensi mengganggu proses negosiasi COC yang sedang berlangsung.

Pewarta: Feru Lantara
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021