Jakarta (ANTARA) - Mendeteksi dini COVID-19 dengan tes cepat merupakan bagian penting dalam memutus mata rantai penularan dan penyebaran COVID-19.

Namun, orang sering mengeluhkan rasa sakit ketika menjalani tes COVID-19 karena harus mengikuti tes usap dengan mengambil sampel dari nasofaring, atau mengambil sampel darah.

Untuk itu, ada alternatif alat penapisan dan diagnostik COVID-19 tanpa harus memasukkan alat ke dalam tubuh. Alat itu adalah GeNose C19, yang hanya menggunakan embusan napas.

Gadjah Mada Electronic Nose COVID-19 (GeNose C19) menjadi salah satu inovasi kebanggaan Indonesia dan merupakan inovasi pertama di Indonesia untuk pendeteksian COVID-19 melalui embusan napas.

GeNose C19 terhubung dengan sistem cloud computing melalui aplikasi berbasis kecerdasan artifisial untuk mendapatkan hasil diagnosis secara real time.

"Bagi kami GeNose C19 adalah suatu inovasi untuk bisa mengurangi ketergantungan terhadap alat screening yang berasal dari luar negeri. GeNose C19 menjadi suatu terobosan karena sifat screening-nya yang tidak berbasis antibodi maupun antigen, melainkan berbasis embusan napas," kata Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Bambang PS Brodjonegoro dalam Webinar "GeNose C19 - Inovasi Teknologi Alat Kesehatan Anak Bangsa" di Jakarta, Jumat.

Dalam praktik kerja GeNose C19, seseorang cukup mengembuskan napas ke dalam alat penampung atau pengumpul napas. Kemudian, embusan napas itu akan dianalisis dengan kecerdasan buatan. Hanya menunggu beberapa menit, hasilnya langsung keluar yang menunjukkan seseorang positif atau negatif COVID-19.

Hasil dapat diketahui tidak lebih dari lima menit. Data analisis GeNose C19 juga telah terhubung ke sistem cloud untuk diakses dalam jaringan.

Tes berbasis embusan napas itu tentunya menawarkan kenyamanan kepada para penggunanya karena tidak perlu merasa sakit, seperti saat menjalani tes cepat berbasis antibodi dan antigen.

Pada tes cepat berbasis antibodi, seseorang "ditusuk" untuk mengambil sampel darah, sedangkan pada tes cepat berbasis antigen, seseorang harus "dicolok" hidungnya untuk mengambil spesimen di nasofaring.

Sementara GeNose C19 berbeda dengan alat tes cepat lain karena tidak perlu mengambil sampel darah atau melakukan proses usap, melainkan melalui embusan napas.

"Saya harapkan GeNose C19 ini tidak hanya sekadar alat, tapi kita buat sistem ini sangat membantu proses 3T (testing, tracing, treatment) supaya kehidupan dengan memperhatikan protokol kesehatan bisa berjalan dengan baik," ujar Menristek Bambang.

GeNose C19, yang dikembangkan oleh tim dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, memiliki tingkat akurasi yang tinggi, yakni sensitivitas 92 persen dan spesivitas 95 persen.

"Kita ingin alat ini bisa mendorong Indonesia bisa menangani pandemi COVID-19 dengan lebih baik lagi," ujarnya.

GeNose C19 dikembangkan oleh UGM dan mendapat dukungan dari Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19 Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek)/Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Badan Intelijen Negara, TNI Angkatan Darat, Kepolisian RI, Kementerian Kesehatan RI, dan pihak swasta, antara lain PT Yogya Presisi Tehnikatama Industri, PT Hikari Solusindo Sukses, PT Stechoq Robotika Indonesia, PT Nanosense Instrument Indonesia, dan PT Swayasa Prakarsa.

Pengembangan GeNose C19 menjadi bukti nyata implementasi triple helix yang melibatkan pemerintah, akademisi, dan industri.

"Selain merupakan bagian dari Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19 di Kemenristek/BRIN, GeNose C19 menjadi bukti nyata implementasi triple helix yang berjalan cukup mulus. Triple helix merupakan bentuk sinergi dan kolaborasi dari tiga pihak yang mendorong penelitian menjadi inovasi, yaitu pemerintah, peneliti, dan industri. Selain itu, hal yang paling penting adalah terwujudnya kolaborasi antarbidang ilmu yang tentunya akan sangat membantu upaya penanganan COVID-19,” tutur Menristek Bambang.

Pada kesempatan itu, Wakil Menteri Kesehatan RI Dante Saksono Harbuwono mengapresiasi inovasi tersebut dan mengatakan GeNose dapat menjadi upaya untuk meningkatkan upaya screening atau penapisan COVID-19 yang dapat mendukung penghematan biaya kesehatan.

"Apabila kita bisa melakukan screening lebih dini kita bisa menemukan kasus lebih dini sehingga kita bisa mengendalikan kasus dan fatality rate-nya," ujarnya.

Dia berharap kemampuan GeNose C19 dalam mendeteksi COVID-19 semakin ditingkatkan ke depannya.

"Dikarenakan GeNose C19 ini adalah kecerdasan artifisial kami harapkan dapat terus dimodifikasi sehingga ketajaman dalam melakukan screening menjadi lebih sensitif," tuturnya.

GeNose C19, yang dibanderol dengan harga Rp62 juta per unitnya, diharapkan menjadi solusi screening yang cepat, murah dan akurat.

Dengan 100 unit batch pertama yang akan dilepas, Ketua Tim Peneliti GeNose dari UGM Kuwat Triyana berharap dapat melakukan 120 tes per alat atau totalnya 12 ribu orang sehari. Angka 120 tes per alat itu dari estimasi bahwa setiap tes membutuhkan tiga menit, termasuk pengambilan napas.

"Sehingga, satu jam dapat mengetes 20 orang dan bila efektif alat bekerja selama enam jam," ujar Kuwat.

Nantinya biaya tes dengan GeNose C19 bisa cukup murah hanya sekitar Rp15 ribu sampai Rp25 ribu.

Mengenai mekanisme kerja GeNose, Kuwat menuturkan ketika bakteri atau virus menginfeksi bagian tubuh manusia, maka akan menghasilkan senyawa volatile yang spesifik, atau yang disebut volatile organic compound (VOC).

Senyawa volatil dari embusan napas yang dikeluarkan spesifik penderita COVID-19 akan dideteksi oleh larik sensor udara yang ada pada GeNose C19. Kemudian, akan terjadi respons yang membentuk pola khas.

Pola khas itu akan dianalisis berbasis kecerdasan buatan dengan machine learning atau deep learning. Dari hasil analisis itu, akan diketahui seseorang terkena COVID-91 atau tidak.

Perlu dipahami yang dideteksi bukan virus corona penyebab COVID-19, melainkan partikel atau senyawa yang memang secara spesifik akan berbeda jika dikeluarkan oleh orang yang terinfeksi COVID-19.

Untuk mendapatkan embusan napas itu, setiap orang menempelkan mulut ke katup dan meniup alat penampung embusan napas. Setelah itu alat penampung embusan napas itu langsung dikoneksikan ke perangkat GeNose C19 untuk dianalisis.

"Sistem bisa menganalisis ribuan sampel sekaligus," kata Kuwat.

Kuwat mengatakan ada tiga bagian utama terkait mekanisme kerja GeNose C19, yakni larik sensor yang akan merespons terhadap senyawa dalam embusan napas, perangkat elektronik yang didesain khusus untuk membawa senyawa dari embusan napas ke sensor, dan software untuk menganalisis dalam mengungkap keberadaan COVID-19.

Peningkatan performa kecerdasan buatan dengan penambahan windows analysis dapat meningkatkan akurasi pembacaan ekstraksi ciri respons sensor.

Kuwat menuturkan saat ini kemampuan produksi dengan mitra yang bekerja sama dengan UGM untuk memproduksi alat GeNose diperkirakan 50 ribu unit hingga 100.000 unit per bulan.

Pada Februari 2021 ditargetkan sebanyak 3.000 unit GeNose C19 akan dirilis.

Baca juga: Kemristek mendukung penelitian "post marketing" GeNose

Di kesempatan lain, Direktur Pengembangan Usaha dan Inkubasi UGM Hargo Utomo mengatakan GeNose C19 bisa membedakan betul antara pasien positif dan negatif COVID-19, walaupun pasien itu asimtomatik.

Izin edar GeNose telah diperoleh pada 24 Desember 2020 dari Kementerian Kesehatan dengan Nomor AKD 20401022883 sehingga bisa diproduksi massal dan didistribusikan ke masyarakat.

Baca juga: Ganjar siap carikan dana untuk kembangkan GeNose

GeNose C19 sudah melalui uji klinis dan diujikan penggunaannya pada 1.476 partisipan di delapan rumah sakit, yaitu Rumah Sakit (RS) Bhayangkara Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), RS Lapangan Khusus COVID-19 Bambanglipuro di Bantul, RSUP Dr Sardjito, RSPAU Dr S Hardjolukito, RS Akademik UGM, RST Dr Soetarto DIY, RSUD Dr Syaiful Anwar di Malang, RS Bhayangkara Tk 1 R Said Sukanto di Jakarta.

Baca juga: Ganjar pesan 100 unit GeNose buatan UGM

Dengan demikian, selain menjadi kebanggaan inovasi anak bangsa Indonesia, GeNose C19 menjadi solusi dalam meningkatkan upaya penapisan COVID-19 untuk mendukung percepatan penanganan COVID-19 di Tanah Air. Dengan hasil deteksi yang diperoleh secara cepat, maka semakin banyak orang bisa dites dalam jumlah besar dan dalam waktu yang relatif singkat.

Alat screening COVID-19 tersebut diharapkan dapat diproduksi secara massal secepatnya dan digunakan di tengah masyarakat dalam rangka mendukung upaya Indonesia untuk meningkatkan kapasitas deteksi dini COVID-19.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2021