Banda Aceh (ANTARA) - Tidak hanya rakyat Indonesia tapi seluruh masyarakat di dunia tentu menaruh harapan besar agar di tahun 2021 kondisi pandemi COVID-19 segera berakhir.

Bencana nonalam terburuk di abad 21 ini pertama kali ditemukan di Kota Wuhan, China pada Desember 2019, kemudian merambah ke berbagai negara, termasuk di Indonesia pada awal Maret 2020.

Khusus di Aceh, kasus perdana muncul pada 23 Maret. Penularan virus itu masih terus terjadi secara masif di tengah masyarakat hingga saat ini.

Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 Aceh mencatat sejak pertengahan tahun lalu penambahan kasus positif baru mencapai puluhan bahkan ratusan orang per hari, sehingga mengantarkan posisi Aceh masuk dalam deretan daerah zona merah penyebaran virus corona di Indonesia.

Namun, sejak awal November 2020 peningkatan mulai melandai hingga sekarang.

Data pada Jumat (1/1), kasus positif COVID-19 Aceh telah mencapai 8.753 orang, meliputi 7.553 telah sembuh, 350 orang meninggal dunia dan 850 orang lainnya masih dirawat di rumah sakit atau isolasi mandiri.

Sejak memasuki fase kenormalan baru,  aktivitas masyarakat sudah berjalan seperti biasanya. Pemerintah di daerah juga telah mengizinkan warga untuk membuat pesta atau acara lainnya, namun tetap harus mengikuti protokol kesehatan sekaligus mengantongi izin dari Satgas COVID-19.

Usaha-usaha warung kopi atau cafe juga terus menggeliat. Begitu juga dengan tempat-tempat wisata yang sempat ditutup beberapa bulan, namun sudah dibuka kembali dengan pertimbangan guna membangkitkan perekonomian masyarakat di masa pandemi COVID-19.

Situasi ini berhasil digapai juga tidak lepas dari ikhtiar Aceh yang menonjolkan kearifan lokal dalam menangkal virus yang menyerang paru-paru manusia itu.

Ulama Aceh Tgk Faisal Ali mengatakan masyarakat daerah berjulukan Serambi Mekkah itu memang selalu mengedepankan nilai-nilai religi dalam menyelesaikan masalah termasuk menghadapi wabah atau bala, tentunya juga tidak mengabaikan protokol kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah.

"Kemudian patuh dalam hal menjaga kewajiban beragama. Jadi masyarakat Aceh sangat mendengar apa yang disampaikan oleh para ulama, karena memang masyarakat Aceh itu sangat dekat dengan ulama," katanya, di Banda Aceh, beberapa waktu lalu.

Selain berikhtiar yang bersifat manusia, yakni dengan menjaga petunjuk kesehatan, masyarakat Aceh juga mengutamakan memanjat doa kepada Allah SWT, baik dalam shalat wajib lima waktu, maupun di luar shalat wajib, dalam rangka menolak bala.

Hal demikian merupakan bentuk-bentuk yang dilakukan oleh orang Muslim dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagai upaya menjauhi bala atau bencana nonalam, yang disebut COVID-19.

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh itu mengatakan, doa dipanjatkan bukan hanya untuk masyarakat tetapi juga untuk masyarakat lain yang di luar Aceh.

Ulama yang akrab disapa Lem Faisal itu juga menyebutkan, masyarakat Aceh meyakini tidak ada penyebaran COVID-19 di masjid-masjid, mengingat seseorang yang mendatangi masjid ialah orang yang telah bersih dan suci.

Menurut dia, ketika masyarakat Aceh yang melaksanakan shalat adalah orang yang saleh, kuat keimanannya, maka sangat tidak beralasan apabila menafikan bahwa doa sebagai hal yang sangat utama dalam rangka menjauhi bala.

"Semuanya mengamalkan kearifan lokal dalam kita mencegah bala," katanya.

Saat dimulai fase kenormalan baru di Aceh, ulama juga mengingatkan masyarakat untuk tidak pernah berhenti membaca qunut nazilah dalam setiap shalat, serta tetap mengumandangkan ayat-ayat dan zikir terkait dengan tolak bala.

Selain itu, ulama juga kerap berpesan agar masyarakat memperhatikan protokol kesehatan di dalam keseharian. Ada dua hal ini yakni doa dan ikhtiar kemanusiaan yang wajib dijalankan oleh orang beriman.

Ikhtiar seperti itulah yang  berhasil mengantarkan Aceh keluar dari status zona merah penyebaran COVID-19.

Juru Bicara COVID-19 Aceh Saifullah Abdulgani mengatakan keberhasilan itu tidak lepas dari peran masyarakat di seluruh kabupaten/kota dalam menjaga penerapan protokol kesehatan.

Masyarakat Aceh,katanya, telah menunjukkan semangat kepahlawanan dalam pertempuran melawan COVID-19. Perubahan peta zonasi risiko COVID-19 mustahil terjadi tanpa peran serta masyarakat dan semua unsur pemerintahan daerah.

Tepat pada Hari Pahlawan 10 November, masyarakat Aceh berhasil membebaskan daerahnya dari zona merah COVID-19.

Kini, dari 23 kabupaten/kota di Aceh, hanya Kabupaten Aceh Barat Daya dengan status zona kuning atau resiko rendah, sedangkan daerah lainnya masih bertahan pada status zona oranye atau resiko sedang penyebaran virus corona.

Baca juga: Sembilan kabupaten zona merah, 14 kabupaten masuk zona hijau di Aceh

Gelombang kedua

Sementara itu, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Aceh juga mengingatkan warga Aceh untuk waspada terhadap potensi gelombang kedua lonjakan kasus COVID-19, meski penambahan kasus baru di Aceh sudah menurun.

"Fase pertama ini kita sudah mulai turun, tetapi hati-hati gelombang kedua," kata Ketua IDI Aceh dr Safrizal Rahman.

Dia menyebutkan penambahan kasus positif baru di Aceh memang telah menurun. Begitu juga dengan angka kematian sekaligus jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit rujukan COVID-19.

Namun, potensi gelombang kedua lonjakan kasus tetap harus diwaspadai. Berkaca dari DKI Jakarta dan kota-kota besar lain di Tanah Air yang sempat menurun kasus positif namun tiba-tiba kembali melonjak drastis.

Karena itu, warga tetap diminta tidak merenggangkan penerapan protokol kesehatan seperti memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan dengan air mengalir atau yang disingkat 3M.

Hal senada juga diutarakan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh yang meminta Pemerintah Aceh untuk lebih dini dalam mengantisipasi potensi terjadinya fase kedua peningkatan kasus COVID-19.

"Untuk mengantisipasi terjadi gelombang kedua peningkatan kasus tentu pemerintah harus mempersiapkan langkah konkret, misalnya masih harus eksis menjaga protokol kesehatan," kata Ketua Komisi V DPRA M Rizal Falevi Kirani.

Selain upaya peningkatan protokol kesehatan, Pemerintah Aceh juga harus melakukan pemetaan secara cepat terhadap daerah-daerah yang memiliki potensi terjadinya lonjakan kasus gelombang kedua.

Hal yang paling penting adalah tahapan-tahapan yang konkret, harus secara terukur dijalankan oleh pemerintah. 

Baca juga: Aceh beri contoh baik pada warga terapkan protokol, sebut gubernur
Baca juga: Wali Kota Banda Aceh minta perhotelan maksimalkan protokol kesehatan


Natal dan tahun baru

Pemerintah Aceh juga bergerak cepat dalam mengeluarkan kebijakan untuk mengantisipasi lonjakan kasus saat libur panjang Natal dan tahun baru, yang dikhawatirkan menjadi pemicu pada peningkatan kasus baru.

Gubernur Aceh Nova Iriansyah mengeluarkan surat edaran tentang penegakan protokol kesehatan selama libur panjang natal dan tahun baru 2021, yang meminta seluruh masyarakat untuk tetap taat terhadap penerapan protokol kesehatan saat libur panjang.

Setiap individu yang melaksanakan perjalanan harus memenuhi protokol kesehatan 3M yakni memakai masker, menjaga jarak dan menghindari kerumunan serta mencuci tangan dengan sabun atau hand sanitizer.

Dalam surat edaran itu, Pemprov Aceh juga meminta kepada warga untuk tidak melakukan perjalanan keluar daerah baik antar kabupaten/kota, provinsi maupun luar negeri.

Jika diharuskan melaksanakan perjalanan, harus memperhatikan surat edaran ketua Satgas Penanganan COVID-19.

Selain itu, Gubernur juga menegaskan kepada bupati dan wali kota untuk meningkatkan pengawasan di pintu masuk kawasan Aceh. Setiap penumpang harus diperiksa surat keterangan pemeriksaan minimal test rapid antigen yang berlaku selama 14 hari.

Kemudian, jam operasi bagi tempat usaha seperti rumah makan atau restoran, warung kopi atau cafe, pusat perbelanjaan, pusat hiburan dan usaha lainnya dibatasi.

Tempat yang bisa mengumpulkan orang banyak untuk sementara diwajibkan tutup paling telat pukul 22.00 WIB. Pemberlakuan batas waktu operasional itu berlaku mulai 21 Desember hingga 4 Januari 2021.

Tak hanya itu, pemerintah juga melarang masyarakat menggelar kegiatan apapun pada momentum pergantian tahun baru 2021, di samping perayaan itu tidak sesuai dengan Syariat Islam, juga guna mencegah penyebaran COVID-19.

Dengan berbagai upaya pencegahan  yang dilakukan pemerintah Aceh yang didukung para ulama, serta dilakukan dengan penuh kesadaran oleh masyarakat, maka pandemi COVID-19 diyakini akan bisa segera berakhir.
​​​​​​
Baca juga: Pemkot Banda Aceh bantu modal 100 UMKM terdampak COVID
​​​Baca juga: Pemerintah Aceh akan perketat perbatasan dengan Sumut

 

Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2021