Jakarta (ANTARA) - Isu penyakit menjadi tantangan dan pertimbangan penting dalam refleksi konservasi Gajah Sumatera yang ada di Pulau Sumatera maupun Kalimantan di masa pandemi COVID-19.

"Banyak pembelajaran didapat di 2020, sebelum itu sudah banyak upaya, sehingga apa yang dilakukan di 2020 tidak lepas dari upaya tahun sebelumnya. Kita harapkan di tahun depan ada upaya lebih strategis lagi, sehingga secara maksimal dapat lakukan konservasi gajah se-Indonesia, baik yang ada di Sumatera maupun Kalimantan," kata Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indra Exploitasia dalam webinar bertema “Refleksi Konservasi Gajah Indonesia 2020 dan Harapan di 2021" diakses dari Jakarta, Selasa.

Baca juga: Menghalau gajah liar dari kawasan permukiman warga di Aceh

Baca juga: Kawanan gajah liar terjebak di area perkebunan di Aceh Utara


Indra mengatakan di tengah pandemi COVID-19 salah satu isu yang menjadi tantangan, yakni terkait penyakit dalam upaya konservasi gajah.

"Jadi, tidak hanya soal habitat dan peningkatan populasi saja, di tengah COVID-19 kita disadarkan bahwa bumi sedang "reset" ulang untuk upaya cegah pandemi virus baru. Ini yang juga dialami gajah," ujar dia.

Patut dipikirkan agar medis dapat menjadi bagian dari manajemen konservasi gajah di Indonesia, mengingat sebelum pandemi COVID-19 ada isu rabies pada gajah.

Akademisi Universitas Riau Defri Yoza mengatakan jumlah penelitian soal gajah mulai berbentuk skripsi, tesis, disertasi, hingga jurnal penelitian jumlahnya meningkat sejak 2015 hingga 2019, dengan total 110 penelitian. Penurunan terjadi di 2020, kemungkinan besar terpengaruh oleh pandemi, dan kalaupun ada publikasi tentang gajah di 2020 juga berdasarkan hasil penelitian di tahun sebelumnya.

Beberapa universitas yang melakukan penelitian terkait gajah, antara lain Universitas Syiah Kuala di Aceh, Universitas Lampung, Universitas Riau, Institut Pertanian Bogor University, dan Universitas Sumatera Utara. Dari penelitian yang dilakukan sebagian besar mengangkat soal gajah liar, selebihnya dari "captive".

Defri mengatakan topik penelitian yang diangkat sebagian besar atau 43 persen berkaitan dengan ekologi gajah, baik dari sisi habitat, populasi, daerah gajah, 16 persen lebih ke persoalan persepsi dan mitigasi konflik. Sedangkan 41 persen penelitian mengangkat tentang penyakit gajah, mulai dari yang disebabkan oleh cacing, parasit, bakteri hingga perubahan perilakunya.

Khusus untuk isu penyakit gajah di "captive" area, ia mengatakan strategi yang dapat diambil yakni menanam potensi tumbuhan obat serta memperhatikan kualitas makanan. Semua itu dapat dilakukan pihak pengelola area "captive", NGO dan akademisi.

Sementara untuk kebijakan ke depan, ia mengatakan pemegang kebijakan atau pengelola kawasan konservasi melakukan manajemen pengelolaan habitat, lalu pengelola pusat latihan gajah melakukan inovasi untuk mengidentifikasi tumbuhan untuk mencegah penyakit pada gajah "captive".

Baca juga: KLHK pantau pergerakan gajah di TNBBS untuk mitigasi konflik

Baca juga: Gajah sumatera ditemukan mati di wilayah konsesi di Bengkalis


Selain itu, pembuatan MoU dan Best Management Practice (BMP) untuk pengelolaan perkebunan dan Hutan Tanaman Industri (HTI) untuk mengalokasikan kawasan bagi pakan gajah hingga jalur jelajah. Sedangkan dasar kebijakan konservasi gajah Sumatera perlu berpegang pada ekologi, kelembagaan, sosial budaya dan ekonomi.

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2020