Jakarta (ANTARA) - Pakar hukum lingkungan hidup dari Universitas Indonesia (UI) Prof Andri G. Wibisana mengatakan eksekusi dari kasus perdata lingkungan hidup seharusnya tidak hanya berhenti ketika perusahaan membayar denda, tapi sampai ke pemulihan lingkungan.

"Yang diputuskan oleh pengadilan itu baru setengah jalan, karena setengah jalan lainnya yang tidak kalah penting adalah memastikan bahwa pemulihannya terjadi," kata Andri G. Wibisana dalam diskusi virtual WALHI Riau tentang penegakan hukum kebakaran hutan dan lahan, dipantau dari Jakarta, Selasa.

Baca juga: Pencabutan Hak Guna Usaha pembakar hutan perlu dipublikasikan luas

Eksekusi keputusan pengadilan, ujar Guru Besar Fakultas Hukum UI itu, tidak bisa hanya berbicara tentang pembayaran perusahaan yang masuk dalam penerimaan negara bukan pajak.

"Negara harus memastikan itu terjadi, juga memastikan bahwa uang yang diperoleh dari pembayaran itu ditujukan untuk pemulihannya. Harus dilakukan pemulihannya," kata Andri.

Selain itu, Andri juga mendorong jika masyarakat mengalami kerugian akibat kasus lingkungan hidup, seperti kebakaran hutan dan lahan yang mengakibatkan asap, bisa melakukan gugatan untuk mengganti kerugian mereka.

Hal itu, karena menurut undang-undang sekarang pemerintah dapat menggugat kerugian lingkungan yang tidak ada hubungannya dengan swasta, sehingga agak sulit pemerintah menggugat mengatasnamakan kerugian masyarakat.

Dia mengatakan pemerintah hanya dapat menggugat untuk mengganti biaya yang dikeluarkan dalam menanggulangi permasalahan itu.

Baca juga: Luas hutan dan lahan yang terbakar di Riau turun 99 persen lebih

Baca juga: KLHK tetap siaga meski jumlah kebakaran hutan turun pada 2020

Baca juga: KLHK: Kasus kebakaran hutan-lahan PT IGP segera ke pengadilan


"Makanya tadi saya dorong satu-satunya jalan untuk menggugat asap adalah 'class action', dibarengkan, misalnya dengan gugatan KLHK," kata Andri.

Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2020