Jakarta (ANTARA) -
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengeluarkan Instruksi Mendagri (Inmendagri) Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan untuk Pengendalian Penyebaran COVID-19.

Instruksi itu ditujukan kepada seluruh kepala daerah di Indonesia, dengan tujuan memperkuat penegakan protokol kesehatan.

Instruksi tersebut sebagai tindak lanjut dari arahan Presiden Joko Widodo dalam Rapat Terbatas Laporan Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional di Jakarta, Senin 16 November 2020.

Dalam Rapat Terbatas kala itu, Presiden dengan tegas meminta kepada Menteri Dalam Negeri untuk mengingatkan, jika perlu menegur, kepala daerah baik gubernur, bupati, maupun wali kota untuk bisa memberikan contoh-contoh yang baik kepada masyarakat tentang penegakan protokol kesehatan.

Presiden meminta kepala daerah jangan malah ikut berkerumun.

Mengutip informasi dalam situs Sekretariat Kabinet, instruksi Mendagri Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan untuk Pengendalian COVID-19 yang ditandatangani Tito Karnavian, Rabu 18 November 2020 berisi sedikitnya lima poin utama.

Pertama, menegakkan secara konsisten protokol kesehatan COVID-19 guna mencegah penyebaran COVID-19 di daerah masing-masing berupa memakai masker, mencuci tangan dengan benar, menjaga jarak, dan mencegah terjadinya kerumunan yang berpotensi melanggar protokol tersebut.

Kedua, melakukan langkah-langkah proaktif untuk mencegah penularan COVID-19 dan tidak hanya bertindak responsif/reaktif. Mencegah lebih baik daripada menindak. Pencegahan dapat dilakukan dengan cara humanis dan penindakan termasuk pembubaran kerumunan dilakukan secara tegas dan terukur sebagai upaya terakhir.

Ketiga, kepala daerah sebagai pemimpin tertinggi pemerintah di daerah masing-masing harus menjadi teladan bagi masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan COVID-19, termasuk tidak ikut dalam kerumunan yang berpotensi melanggar protokol kesehatan.

Keempat, bahwa sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, diingatkan kepada kepala daerah tentang kewajiban dan sanksi bagi kepala daerah.

Dia menjelaskan, sebagaimana diatur dalam Pasal 67 huruf b UU Pemda, pemerintah daerah diharuskan menaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan. Sementara dalam Pasal 78 dinyatakan, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah juga dapat diberhentikan, dengan alasan antara lain karena dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan dan tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan wakil kepada daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf b itu.

Berdasarkan instruksi pada diktum keempat, maka pada poin kelima Instruksi Mendagri tersebut dijelaskan kepala daerah yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dapat dikenakan sanksi sampai dengan pemberhentian.

Pandangan pakar
Sejumlah pengamat politik dan pakar hukum pun menanggapi Instruksi Mendagri tersebut, khususnya pada poin sanksi pemberhentian kepala daerah yang melanggar perundang-undangan pencegahan COVID-19.

Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga, Umbu Rauta melihat Instruksi Mendagri itu bersifat mengingatkan para kepala daerah tentang adanya sanksi pemberhentian apabila melanggar aturan perundang-undangan pencegahan COVID-19.

Bagi Umbu, instruksi itu tepat dan tidak melampaui kewenangan, serta diperlukan di tengah krisis pandemi, untuk menekankan asas akuntabilitas atau pertanggungjawaban fungsi kepala daerah.

Dia juga memandang Instruksi Mendagri tersebut merupakan penegasan terhadap kewajiban para kepala daerah, yakni gubernur, bupati/wali kota untuk menjalankan dan menegakkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Menurut pengamatan Umbu, ada tujuh peraturan perundang-undangan yang menjadi rujukan Instruksi Mendagri yang relevan terhadap pencegahan COVID-19.

Menurut dia, hal ini mengonfirmasi pemahaman yang sangat tepat dan produktif dari Mendagri selaku pembantu Presiden di dalam pengembangan hubungan Pusat-Daerah sesuai konstitusi.

Dia menilai langkah tegas demikian dibutuhkan untuk meningkatkan efektivitas pemerintahan daerah sesuai semangat sistem presidensial.

Umbu juga tidak melihat adanya unsur melampaui kewenangan dalam hal prosedur pemberhentian kepala daerah dalam Instruksi Mendagri.

Menurut dia, Mendagri sebagai pembina dan pengawas kepala daerah memiliki kewenangan menerbitkan instruksi tersebut.

Sementara itu Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan peringatan kepada Kepala Daerah yang tidak mau melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait Penegakan Protokol Kesehatan, bisa saja terjadi dalam Instruksi Mendagri.

Namun dia mengatakan pemberhentian Kepala Daerah tetap harus mengacu kepada UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Menurut Yusril, berdasarkan undang-undang itu, pemberhentian Kepala Daerah tetap harus melalui DPRD.

Artinya, apabila DPRD memiliki pendapat bahwa seorang Kepala Daerah memiliki cukup alasan untuk dimakzulkan, entah karena melanggar perundang-undangan atau hal lain, maka DPRD bisa menyampaikan kepada Mahkamah Agung.

Adapun pengamat politik Ray Rangkuti menilai Instruksi Mendagri yang menjelaskan sanksi pemberhentian Kepala Daerah itu tidak bermasalah secara teks.

Tetapi, kata Ray, secara kontekstual, Instruksi Mendagri itu bisa saja memicu gerakan politik lokal, melalui DPRD, untuk kemudian memakzulkan Kepala Daerah.

Alasan Mendagri
Publik tentu bertanya-tanya apa alasan konkret seorang Mendagri Tito Karnavian mengeluarkan instruksi tersebut. Sebab faktanya instruksi itu muncul setelah terjadi peristiwa kerumunan massa oleh kelompok Front Pembela Islam pimpinan Rizieq Shihab, yang berbuntut sejumlah kepala daerah dimintai keterangan oleh Polri.

Mendagri dalam siaran pers resminya menyampaikan alasan konkret diterbitkannya Instruksi Mendagri Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan untuk Pengendalian Penyebaran COVID-19.

Dia menyampaikan bahwa selama ini, upaya pengendalian pandemi COVID-19 dan dampak sosial, ekonomi, dilakukan kerja bersama pemerintah dengan seluruh elemen nonpemerintah dan masyarakat.

Selama lebih kurang 8 bulan Pemerintah Pusat, 34 Pemerintah Provinsi, 315 Pemerintah Daerah Kabupaten, 93 Pemerintah Daerah Kota serta seluruh elemen nonpemerintah dan masyarakat telah bersama-sama bekerja keras mengatasi persoalan bangsa.

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Pemda) telah mengeluarkan sejumlah peraturan, baik itu berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah, dan Peraturan Kepala Daerah dalam upaya penanganan pandemi dan dampaknya tersebut.

Berbagai langkah juga telah dilakukan secara sistematis dan masif dengan mengeluarkan biaya yang besar, termasuk dari pajak rakyat, di antaranya upaya sosialisasi memakai masker, pengaturan jaga jarak, penyediaan sarana cuci tangan dan upaya untuk mencegah terjadinya kerumunan.

Selain itu telah dilakukan juga upaya meningkatkan kapasitas 3T (Testing, Tracing, dan Treatment) serta beberapa strategi pemerintah daerah lainnya, termasuk Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang mencakup pencegahan terjadinya kerumunan berskala besar.

Tito menekankan Kepala Daerah perlu menghargai kerja keras dan dedikasi bahkan nyawa para pejuang yang telah gugur terutama tenaga dokter, perawat, tenaga medis lainnya, anggota Polri/TNI dan relawan serta berbagai elemen masyarakat yang telah bekerja keras menanggulangi COVID-19.

Tito memandang perlu dilakukan langkah terpadu untuk melaksanakan dan menaati kebijakan dan peraturan yang telah diterbitkan.

Diperlukan langkah-langkah cepat, tepat, fokus, dan terpadu antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam menyikapi kebijakan yang telah terbit untuk ditaati guna mencegah penyebaran COVID-19 di daerah, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Atas alasan itu lah Mendagri kemudian memberikan instruksi kepada para gubernur dan bupati/wali kota terkait hal tersebut.

Berdasarkan berbagai penjabaran tersebut, publik tentu dapat memahami Instruksi Mendagri sebagai upaya nyata memperkuat penegakan protokol kesehatan.

Pertimbangan Mendagri juga dapat dipahami, mengingat sudah begitu banyak korban dan dampak yang ditimbulkan akibat pandemi COVID-19.

Sementara sanksi tentang pemberhentian Kepala Daerah yang diatur dalam instruksi tersebut, agaknya lebih tepat disebut sebagai upaya Mendagri mengingatkan para Kepala Daerah.

Upaya mengingatkan itu sejalan dengan perintah Presiden dalam Rapat Terbatas. Meskipun demikian, pemberhentian Kepala Daerah tetap harus dilakukan sesuai Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Baca juga: Pakar: Instruksi Mendagri bukan fasilitas hukum copot kepala daerah

Baca juga: Pakar Hukum: Instruksi Mendagri tidak lampaui kewenangan


Editor: Sigit Pinardi
Copyright © ANTARA 2020