Kita berencana untuk menerjunkan comprehensive needs assessment team, namun hal ini belum dapat kita lakukan karena pandemi COVID-19
Jakarta (ANTARA) - Pandemi COVID-19 telah menghambat repatriasi ratusan ribu pengungsi Rohingya ke Myanmar, yang salah satunya diupayakan lewat implementasi penilaian kebutuhan awal (preliminary needs assessment/PNA).

Dalam pertemuan para menteri luar negeri ASEAN, Selasa, Sekretaris Jenderal ASEAN Lim Jock Hoi melaporkan bahwa Tim Tanggap Darurat dan Penilaian ASEAN (ERAT) belum dapat dikirim ke Negara Bagian Rakhine untuk menjalankan PNA.

“Kita berencana untuk menerjunkan comprehensive needs assessment team, namun hal ini belum dapat kita lakukan karena pandemi COVID-19,” ujar Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam pengarahan media setelah pertemuan tersebut, merujuk pada laporan Sekjen ASEAN.

Baca juga: OHCHR desak Myanmar berhenti batasi hak pilih etnis Rohingya
Baca juga: Satgas: Sudah empat warga Rohingya meninggal dunia di Lhokseumawe


Tim tersebut bertugas mengidentifikasi kemungkinan area kerja sama di Negara Bagian Rakhine guna memfasilitasi proses repatriasi warga Rohingya, yang sebagian besar mendiami kamp-kamp pengungsian di wilayah perbatasan Cox’s Bazar di Bangladesh.

Selain proyek pembuatan FM radio melalui kerja sama dengan Myanmar Radio and Television, beberapa proyek yang direkomendasikan dan akan dijalankan antara lain mencakup peningkatan kapasitas dan pelatihan di bidang peternakan dan penanganan penyakit binatang.

Kemudian, peningkatan fasilitas pendidikan bagi pengungsi internal (internally displaced persons) terutama di bidang air, sanitasi, dan kebersihan, serta pelatihan 200 sukarelawan di bidang kesehatan.

Selain mempersiapkan penghidupan bagi pengungsi Rohingya pada saat mereka telah kembali ke Myanmar, tujuan dari PNA adalah untuk menilai kesiapan pusat-pusat penerimaan dan transit, termasuk lokasi relokasi potensial yang telah diidentifikasi oleh pemerintah Myanmar.

“Di dalam laporannya, Sekjen (ASEAN) juga menggarisbawahi bahwa situasi di Rakhine State merupakan situasi yang kompleks, karena itu diperlukan upaya bersama yang membutuhkan political will, persistency, resources (kemauan politik, ketekunan, dan sumber daya--red) untuk menyelesaikan isu kemanusiaan para pengungsi Rohingya tersebut,” tutur Retno.

Sejak meletus konflik antara militer dan warga sipil di Negara Bagian Rakhine pada 2017 yang memaksa ratusan ribu warga etnis Rohingya menyelamatkan diri ke Bangladesh, belum ada solusi efektif untuk menyelesaikan masalah ini.

Negosiasi antara Myanmar dan Bangladesh untuk merepatriasi pengungsi Rohingya berlangsung alot, sementara warga Rohingya yang beragama Muslim menolak kembali ke Rakhine karena khawatir akan persekusi dan status kewarganegaraan mereka yang tidak diakui menurut undang-undang Myanmar.

Alih-alih direpatriasi, banyak pengungsi Rohingya yang putus asa justru menjadi korban penggelapan dan perdagangan manusia saat berupaya mencari penghidupan yang lebih baik ke negara-negara tetangga, termasuk ke Indonesia, melalui jalur laut.

Baca juga: Tiga pelaku penyelundupan imgiran Rohingya ditangkap
Baca juga: Biksu buronan Myanmar menyerahkan diri, hadapi kasus penghasutan


Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2020