Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menyatakan bahwa pembahasan RUU Energi Baru dan Terbarukan (EBT) belum menyentuh masalah-masalah pokok terkait ketenaganukliran, namun masyarakat dinilai perlu untuk terus mengawal pembahasan tersebut.

"Saat ini pembahasan RUU EBT belum menyentuh masalah-masalah pokok ketenaganukliran. Pembahasan baru pada tingkat penjaringan aspirasi, agar isi RUU EBT lebih komprehensif," kata Mulyanto dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.

Menurut Mulyanto, salah satu hal yang harus dicermati antara lain pasal 7 ayat 3 tentang operasi dan dekomisioning PLTN oleh BUMN Khusus, yang berbeda dengan ketentuan dalam UU No. 10/1997 tentang Ketenaganukliran Pasal 13 ayat (3) yang berbunyi pembangunan, pengoperasian dan dekomisioning reaktor nuklir komersial dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara, koperasi, dan/atau badan swasta.

Baca juga: Pakar nilai PLTN layak masuk RUU Energi Baru dan Terbarukan

"Kemarin dalam draf RUU Cipta Kerja pembahasan mengenai BUMN Khusus, untuk menggantikan SKK Migas didrop dari DIM. Untuk pengusahaan bahan nuklir, diputuskan akan diserahkan hanya kepada BUMN. Sedangkan untuk kasus pembangunan, operasi dan dekomisioning PLTN ini masih harus kita dalami kalau kelak akan dibatasi pada BUMN saja," katanya.

Ia berpendapat bahwa hal itu perlu dilakukan agar antara aspek keamanan ketenaganukliran serta pengusahaan komersial dapat dirumuskan secara lebih optimal.

Selain itu, ujar dia, dalam pasal 13 ayat (5) UU Ketenaganukliran disebut Pembangunan reaktor nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang berupa pembangkit listrik tenaga nuklir, ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkonsultasi dengan DPR RI, maka dalam UU EBT diusulkan istilah “konsultasi” diubah menjadi "persetujuan", karena pembangunan PLTN ini sangat strategis bagi bangsa Indonesia.

"Saya sendiri setuju dengan penggunaan kata 'persetujuan', karena ini lebih kuat ketimbang kata 'konsultasi'," kata Mulyanto dan menambahkan, hal ini adalah ketentuan yang masih harus dibahas lebih lanjut.

Baca juga: UAE mulai operasikan PLTN Barakah, pertama di jazirah Arab

Sementara soal Majelis Pertimbangan Tenaga Nuklir (MPTN) sebagaimana diatur dalam Pasal 9 dan Pasal 12 ayat 2 UU Ketenaganukliran, lanjutnya, perlu lebih diperkuat.

Mulyanto menyayangkan hingga saat ini keberadaan majelis pertimbangan tenaga nuklir ini tidak jelas keberadaannya, padahal tugas majelis ini sangat luas karena terkait dengan pemberian saran dan pertimbangan kepada Presiden mengenai pemanfaatan tenaga nuklir, tidak hanya untuk PLTN.

Jadi, imbuh Mulyanto, kalau dalam RUU EBT akan dibentuk Majelis Pertimbangan Daya Nuklir (MPDN), berarti khusus untuk reaktor daya PLTN saja, maka perlu dipikirkan dengan seksama urgensi dan tugas pokoknya, agar benar-benar bisa diterapkan.

"Di era Presiden SBY ada moratorium kelembagaan. Karena pembentukan lembaga baru akan menyedot SDM dan anggaran pemerintah, karenanya perlu secara cermat dirumuskan," kata Mulyanto.

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2020