Jakarta (ANTARA) - Pengusulan calon hakim ad hoc di Mahkamah Agung oleh Komisi Yudisial yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dipersoalkan ke Mahkamah Konstitusi.

Dikutip dari laman Mahkamah Konstitusi di Jakarta, pemohon adalah dosen bernama Burhanudin yang pernah mengikuti seleksi calon hakim ad hoc Tindak Pidana Korupsi di Mahkamah Agung pada 2016.

Pasal 13 huruf a Undang-Undang Komisi Yudisial disebut menghalanginya karena pasal itu mengatur Komisi Yudisial juga berwenang mengusulkan pengangkatan hakim ad hoc di Mahkamah Agung.

Baca juga: KY: 178 orang daftar calon hakim agung dan hakim ad hoc di MA

Ada pun Pasal 13 huruf a Undang-Undang Komisi Yudisial berbunyi, "mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan".

Padahal menurut dia, Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menyebutkan kewenangan Komisi Yudisial hanya mengusulkan pengangkatan hakim agung, tidak termasuk hakim ad hoc.

"Dengan adanya aturan hukum dalam UU KY tersebut yang menyamakan hakim ad hoc dengan hakim agung merupakan pelanggaran konstitusional terhadap Pasal 24B ayat (1) UUD 1945," ujar pemohon dalam permohonannya.

Melalui mekanisme seleksi yang sama, kriteria dan prasyarat hakim ad hoc disamakan dengan hakim agung, tetapi dalam kenyataannya status hakim ad hoc dan hakim agung berbeda dari aspek administrasi dan masa jabatan sehingga hal itu disebutnya tidak sesuai dengan prinsip keadilan.

Untuk itu, ia meminta Mahkamah Konstitusi menghilangkan kewenangan Komisi Yudisial untuk melakukan seleksi hakim ad hoc di Mahkamah Agung karena bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Baca juga: KY: Seleksi kepribadian calon hakim agung digelar secara daring
Baca juga: Calon hakim agung lulus seleksi kualitas segera dicek rekam jejaknya

Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2020