Jakarta (ANTARA) - Mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Komisaris Jenderal Polisi (Purn) Syafruddin menyebutkan bahwa cara mengelola perbedaan menjadi kunci maju atau mundurnya peradaban di era globalisasi.

Hal itu disampaikan Syafruddin dalam orasi ilmiahnya bertajuk 'Transformasi Paradigma Islam dalam Hubungan Internasional, Menuju Tatanan Masyarakat Dunia yang Damai' pada Sidang Senat Terbuka Penganugerahan Doktor Kehormatan (Honoris Causa) yang ditayangkan secara daring di Youtube UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Kamis.

"Jika perbedaan dikelola dengan baik, maka itu menjadi kekuatan sosial yang mendorong kebangkitan. Namun jika perbedaan tidak dikelola dengan baik, maka itu menjadi awal petaka kemunduran," ujar Syafruddin.

Wakil Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) itu menilai arus peradaban dari luar akan banyak masuk di era globalisasi saat ini. Tentunya itu akan menimbulkan banyak perbedaan-perbedaan.

Baca juga: Raih doktor HC, Syafruddin berhubungan baik dengan tokoh Islam dunia

Ia memandang perlu mengelola perbedaan tersebut dengan baik agar terjadi solidaritas hubungan persaudaraan (ukhuwah) antar-umat beragama.

Agar solidaritas ukhuwah itu terwujud, Indonesia yang memiliki mayoritas penduduk Islam perlu mengedepankan wajah dan wujud Islam Rahmatan lil Alamin sebagai semangat bertoleransi dalam membangun bangsa ini.

Sehingga antar-peradaban yang berbeda dapat saling berdialog dalam kondisi yang kondusif, konstruktif, dan edukatif, serta dapat disikapi secara produktif dan positif yaitu keinginan bersama mewujudkan tatanan dunia yang adil dan damai.
​​​​​​​
Mantan Wakapolri pada 2016-2018 itu kemudian memaparkan prinsip-prinsip dalam dialog antar-peradaban itu, di antaranya:

1. Keterbukaan dan penerimaan, melalui dialog terbuka dan setara.

2. Saling pengertian dan saling menghormati dalam membangun jembatan dialog peradaban.

3. Sikap keadilan.

"Banyak konflik dan konfrontasi kerap dipersepsikan sebagai konflik agama, padahal sebenarnya adalah masalah keadilan. Oleh karena itu, bersikap adil dan mampu menjadi fasilitator keadilan memainkan peran yang sangat penting dalam mewujudkan kedamaian dunia," kata Syafruddin.

Baca juga: Mantan Menpan-RB meraih gelar Doktor 'Honoris Causa' dari UIN Bandung

Ia mencontohkan dialog-dialog yang berhasil menyelesaikan konflik secara nasional seperti di Poso dan Penyelesaian Perdamaian Aceh, adalah dengan mengubah persepsi konflik agama menjadi persepsi keadilan, keterbukaan, dan saling pengertian.

"Tentu, tokohnya ada di sini. (Wakil Presiden RI ke 10 dan 12) Dr HC Jusuf Kalla, dan (Menteri Hukum dan HAM 2004-2007) Prof Hamid Awaluddin, dan kami sebagai orang ketiga," kata Syafruddin.

4. Kebersamaan dan saling kemitraan.

Syafruddin mengatakan di era digital, tidak ada negara yang mampu berdiri sendiri. Oleh karena itu, dialog peradaban harus diletakkan dalam konteks signifikansi hidup dalam kebersamaan.

"Dunia Islam harus senantiasa berkolaborasi dengan pihak manapun dalam membangun dialog peradaban yang humanis untuk perdamaian dunia yang abadi," pungkas Syafruddin.

Syafruddin menerima anugerah gelar Doktor Honoris Causa untuk bidang Ilmu Politik Hukum Hubungan Internasional Islam dari Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung.

Rektor UIN Bandung, Prof Mahmud, mengatakan bahwa penganugerahan gelar Doktor HC tersebut diberikan kepada Syafruddin karena peran sentralnya dalam pembangunan di Indonesia khususnya pada sektor Hubungan Internasional Islam.

Selain dihadiri Wakil Presiden Ke-10 dan 12 Jusuf Kalla dan Menteri Hukum dan HAM 2004-2007 Hamid Awaluddin, acara itu juga dihadiri oleh Sekretaris Menpan-RB Dwi Wahyu Atmaji.

Baca juga: Menteri PANRB beri penghargaan kepada Polda Metro Jaya

Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2020