Tingkat digitalisasi masih rendah. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, per Juni 2020 baru 13 persen UMKM yang menggunakan platform digital seperti marketplace dan media sosial untuk mempromosikan dan menjual produknya
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Siti Alifah Dina mengingatkan bahwa kebijakan yang ada harus betul-betul dapat meningkatkan tingkat digitalisasi di dalam UMKM yang dinilai pada saat ini masih rendah.

"Tingkat digitalisasi masih rendah. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, per Juni 2020 baru 13 persen UMKM yang menggunakan platform digital seperti marketplace dan media sosial untuk mempromosikan dan menjual produknya," kata Siti Alifah Dina dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu.

Menurut dia, pemerintah perlu mempercepat upaya digitalisasi pada kalangan usaha mikro sebagai upaya untuk membangkitkan pengusaha yang terdampak secara ekonomi akibat pandemi.

Ia berpendapat bahwa digitalisasi merupakan salah satu upaya yang dapat membantu usaha mereka bertahan dan bahkan bisa bangkit.

Dina menjelaskan, usaha mikro perlu mengadopsi strategi baru untuk menjaga produktivitas dan mempertahankan pendapatan mereka di tengah pandemi COVID-19.

"Penetrasi penjualan digital bisa menjadi strategi utama mereka karena strategi ini dapat memperluas jangkauan pasar dan mempromosikan produk mereka sambil mematuhi kebijakan pembatasan sosial yang menetapkan batas 50 persen untuk kapasitas toko dan pengurangan jam operasi," katanya.

Dina mengapresiasi Kemenkop UKM yang menargetkan tambahan dua juta UMKM di pasar daring pada akhir tahun 2020.

Namun, lanjutnya, target digitalisasi akan sulit tercapai jika beberapa kendala tidak diatasi, seperti jangkauan konektivitas internet dan persyaratan untuk beralih ke penjualan daring.

Bank Indonesia meyakini digitalisasi di sektor jasa keuangan, ke depannya mampu membawa Indonesia bertransformasi menjadi negara maju dan berpendapatan tinggi.

Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia (BI) Filianingsih Hendarta mengatakan transformasi digital di sektor keuangan yang dilakukan bersama-sama baik oleh regulator dan perbankan, akan mampu menjawab tantangan di era kenormalan baru dan memberikan manfaat yang lebih besar bagi rakyat Indonesia. Salah satunya dengan pemanfaatan digitalisasi dalam sistem pembayaran.

"Kita tetap perlu optimis bahwa sinergi seluruh pihak akan mewujudkan visi Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia 2025 yaitu terbukanya akses 91,3 juta penduduk unbanked dan 62,9 juta UMKM ke dalam ekonomi dan keuangan formal secara sustainable ini akan menjadi nyata," ujar Filianingsih dalam diskusi daring di Jakarta, Selasa (22/9).

Filianingsih menuturkan setahun sejak peluncurannya, Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025 telah berjalan sesuai rencana dan ditargetkan mulai memasuki tahap implementasi teknis pada tahun depan.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan bahwa potensi ekonomi digital di Indonesia mencapai 133 miliar dolar AS sehingga pemerintah akan terus mendorong transformasi digital.

“Potensi yang bisa tersedia di Indonesia di sektor digital sebesar 133 miliar dolar AS dan untuk ASEAN 300 miliar dolar AS. Oleh karena itu revolusi industri 4.0 terus didorong,” katanya dalam diskusi daring di Jakarta, Selasa (15/9).

Ia menjelaskan Indonesia mempunyai modal cukup besar dalam melakukan transformasi digital dan merealisasikan potensi tersebut karena terdapat 180 juta penduduk yang mampu mengakses internet.

Baca juga: Digitalisasi UMKM dan masa depan bangsa

Baca juga: Kiat cegah kejahatan digital "phising" bagi UMKM

Baca juga: Dorong digitalisasi UMKM dengan edukasi manfaat teknologi

Baca juga: Kolaborasi dibutuhkan untuk digitalisasi UMKM di kala pandemi

 

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2020