Jadinya begini, yang mematuhi harus 'membayar' akibat perbuatan orang yang tidak mematuhi
London (ANTARA) - Warga Negara Indonesia (WNI) di Inggris (UK) perlu mematuhi setiap langkah pengetatan yang diberlakukan dan perkembangan kebijakan pandemi COVID-19 yang dapat berubah sewaktu-waktu, baik di tingkat nasional maupun secara lokal di kerajaan tersebut.

Pensosbud KBRI London Counsellor Hartyo Harkomoyo kepada Antara London, Rabu mengatakan kebijakan pengetatan COVID-19 Pemerintah Inggris perlu dipatuhi demi kebaikan bersama.

“Langkah ini bertujuan untuk kebaikan bersama, mencegah penyebaran secara luas COVID-19, khususnya saat memasuki musim dingin,” ujarnya.

Hartyo Harkomoyo mengatakan layanan kekonsuleran KBRI London bagi WNI masih dibuka dengan membuat janji terlebih dahulu.

KBRI London yang selalu mengupdate informasi melalui website dan media sosial, tetap membuka layanan hotline COVID-19 bagi WNI yang memerlukan informasi atau bantuan.

WNI diimbau untuk senantiasa memperhatikan kesehatan dan kebersihan dengan mengenakan masker, mencuci tangan secara teratur dan melakukan menjaga jarak.

Pemerintah Inggris kembali mengeluarkan kebijaksanaan beberapa tindakan penguncian yang dikenal dengan lockdown menyusul jumlah kasus COVID-19 meningkat.

Perdana Menteri Boris Johnson, pada Selasa malam waktu Inggris (22/9) mengumumkan peraturan nasional baru yang dapat berlaku untuk enam bulan ke depan atau lebih.

Kebijakan pengetatan ini disertai sanksi atau denda mulai dari £200 (Rp3.792.780) sampai £10.000 (sekitar Rp189.647.000).

Denda tegas juga akan dikenakan bagi mereka yang melanggar ketentuan isolasi atau karantina mandiri hingga £10.000.

Mulai Kamis, 24 September, warung minum dikenal dengan pub, restoran, dan bar di seluruh Inggris harus ditutup pada pukul 10 malam. Pertemuan di luar rumah dan dalam rumah hanya boleh dihadiri oleh sebanyak enam orang.

Keputusan Perdana Menteri ini adalah untuk tetap menjaga perputaran ekonomi dan juga mencegah lebih banyak korban yang terkena infeksi COVID-19.

Banyak komentar beredar keputusan pemerintah ini, salah satunya dari warga Inggris yang tinggal di London, Nancy Ferguson yang saat ini bekerja di rumah, yang mengatakan bahwa keputusan ini adalah baik untuk masyarakat dan juga untuk busnis yang masih diijinkan untuk tetap beroperasi, dibanding pada waktu total lockdown selama bulan Maret sampai awal Juni lalu.

Sementara pria Inggris yang tinggal di Frinton-on-sea, Jeremy Duncan mengaku memang banyak orang Inggris terutama pemuda dan pemudi, tidak mematuhi aturan pemerintah yang mengharuskan menggunakan masker dan jaga jarak.

“Jadinya begini, yang mematuhi harus 'membayar' akibat perbuatan orang yang tidak mematuhi,” ujarnya.

Menurut Jeremy, yang penting adalah kesehatan kalau sudah sakit, tentunya akan merepotkan, sedangkan ekonomi, apabila melemah tentunya akan bisa bangkitan kembali.

Lain lagi komentar pria Inggris berasal dari Wales, Jason Mark, mengatakan keputusan ini akan mempengaruhi perputaran ekonomi dan memperburuk situasi perekonomian negara Inggris.

Tidak adanya acara olahraga seperti sepakbola, dan yang lainnya, membuat masyarakat kecewa, ujarnya.

Selain itu mulai 28 September, Pemerintah juga mengeluarkan peraturan bagi mereka yang akan melakukan pernikahan dibatasi hanya 15 orang yang hadir, dan pemakaman akan dibatasi hanya 30 orang.

Berdasarkan data Kesehatan Masyarakat Inggris pada 20 September, negara itu mencatat jumlah kasus positif COVID-19 sebanyak 394.257,  dan jumlah kematian mencapai 41.777.


Baca juga: PM Inggris pertahankan sistem uji dan lacak untuk tangani COVID-19

Baca juga: PM Boris: Inggris akan hadapi gelombang kedua COVID-19

Pewarta: Zeynita Gibbons
Editor: Fardah Assegaf
Copyright © ANTARA 2020