Fakta menunjukkan sejumlah penyelenggara pemilu, baik di tingkat pusat maupun daerah serta para calon kontestan pilkada di sejumlah daerah positif terjangkit COVID-19
Jakarta (ANTARA) - Puncak pelaksanaan Pilkada Serentak 9 Desember 2020 kira-kira tinggal 2,5 bulan lagi.

Pemerintah bersama penyelenggara pemilu terus melakukan persiapan setelah sebelumnya melakukan penundaan dari jadwal semula tanggal 23 September 2020  akibat merebaknya wabah virus corona (COVID-19).

Penundaan itu dengan harapan wabah sudah dapat dikendalikan menjelang pelaksanaan pilkada. Kemampuan pengendalian virus yang bermula dari Wuhan (China) ini ditandai dengan menurunnya jumlah orang terpapar.

Namun hingga menjelang akhir September, grafik masih naik dan entah kapan akan landai kemudian turun.

Baca juga: Pilkada tetap dilangsungkan 9 Desember 2020

Kasus baru konfirmasi positif COVID-19 di Indonesia yang dilaporkan melalui Satuan Tugas Penanganan COVID-19 hingga pukul 12.00 WIB, Senin, kembali di atas empat ribu orang per harinya. Angka tepatnya 4.176 kasus sehingga total menjadi 248.852 kasus.

Pasien sembuh per hari ini bertambah 3.470 orang dengan total pasien COVID-19 yang berhasil pulih menjadi 180.797 orang. Sementara untuk kasus pasien terkonfirmasi positif COVID-19 yang meninggal dunia hingga kini bertambah 124 jiwa menjadi 9.677 kematian.

Tidak ada yang berani dan bisa memastikan bagaimana perkembangan wabah ini di Indonesia ke depan, terutama di 270 kabupaten, kota dan provinsi menjelang hari "h" pencoblosan. Yang ada hanyalah harapan, kerja keras mengerem penularan dan--tentu saja --ikhtiar doa.

Pro-Kontra
Dalam konteks masih terjadinya penularan dengan grafik yang masih naik, sejumlah pihak meminta pemerintah dan penyelenggara pemilu untuk menunda lagi pilkada. Namun sejumlah pihak berpendapat agar tetap dilaksanakan dengan protokol kesehatan yang ketat.

Terbaru, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meminta KPU, pemerintah dan DPR RI untuk menunda penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilakada) Serentak 2020 demi menjaga kesehatan rakyat.

"Meminta kepada Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia, Pemerintah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk menunda pelaksanaan tahapan Pilkada Serentak 2020 hingga tahap darurat kesehatan terlewati," kata Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj dalam pernyataan sikapnya di Jakarta, Ahad (20/9).

Pelaksanaan pilkada meskipun dengan protokol kesehatan yang diperketat, dinilai sulit terhindar dari konsentrasi orang dalam jumlah banyak pada seluruh tahapannya.

Baca juga: IPR: Demi rakyat sebaiknya tunda Pilkada ke 2022

PBNU juga meminta untuk merealokasikan anggaran pilkada bagi penanganan krisis kesehatan dan penguatan jaring pengaman sosial.

Selain itu, PBNU perlu mengingatkan kembali Rekomendasi Konferensi Besar Nahdlatul Ulama 2012 di Kempek Cirebon perihal perlunya meninjau ulang pelaksanaan pilkada yang banyak menimbulkan mudharat berupa politik uang dan politik biaya tinggi.
 
Ketua Umum Nahdatul Ulama (PBNU), Said Aqil Siroj. ANTARA FOTO/Reno Esnir/ss/pd/am.



Upaya pengetatan PSBB, kata dia, perlu didukung tanpa mengabaikan ikhtiar menjaga kelangsungan kehidupan ekonomi masyarakat. PBNU berpendapat bahwa melindungi kelangsungan hidup (hifdz al-nafs) dengan protokol kesehatan sama pentingnya dengan menjaga kelangsungan ekonomi (hifdz al-mâl) masyarakat.

Namun karena penularan COVID-19 telah mencapai tingkat darurat, prioritas utama kebijakan negara dan pemerintah selayaknya diorientasikan untuk mengentaskan krisis kesehatan.

Mobilisasi Massa
Sebagaimana lazimnya perhelatan politik, momentum pesta demokrasi selalu identik dengan mobilisasi massa. Meskipun ada pengetatan regulasi terkait pengerahan massa, telah terbukti dalam pendaftaran pasangan calon terjadi konsentrasi massa yang rawan menjadi klaster penularan wabah.

Fakta menunjukkan sejumlah penyelenggara pemilu, baik di tingkat pusat maupun daerah serta para calon kontestan pilkada di sejumlah daerah positif terjangkit COVID-19.

Ketua Komite I DPD RI Fachrul Razi juga mengharapkan penundaan Pilkada 9 Desember 2020 karena pandemi semakin mengkhawatirkan. Pilkada sebaiknya ditunda hingga tahun 2021 atau ketika situasi sydah-benar bebas wabah virus corona.

DPD RI hingga kini masih meyakini COVID-19 ini akan terus bertambah, bila keramaian masih tetap terjadi dimana-mana. Apalagi melihat pendaftaran calon-calon kepala daerah di KPU, hampir tidak bisa diawasi bahkan dikendalikan.

Fachrul Razi mendesak pemerintah dan penyelenggara pilkada benar-benar memperhatikan dan mengutamakan keselamatan 105 juta nyawa rakyat Indonesia di 270 daerah yang melaksanakan pilkada.

Klaster Pilkada
Saat ini nyawa lebih utama, sedangkan kekuasaan politik masih bisa dipikirkan di masa depan. Hanya satu solusi, kata dia, tunda pilkada sebagaimana diatur dalam pasal 122a Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020.

Apalagi COVID-19 juga menjangkiti sejumlah penyelenggara pemilu seperti Ketua KPU Pusat dan komisioner KPU serta penyelenggara pilkada di daerah. Bahkan lebih dari 60 bakal calon di pilkada positif COVID-19.

Baca juga: MPR: Pemda-Polda larang pengumpulan massa saat kampanye Pilkada

Suara senada disampaikan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Perludem menilai penundaan pilkada karena pandemi COVID-19 yang tak kunjung membaik bukanlah bentuk kegagalan dalam berdemokrasi.
 
Kadiv Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono (tengah) didampingi Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Awi Setiyono (kiri) dan Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan (kanan) memberikan keterangan kepada wartawan terkait Maklumat Kapolri di Mabes Polri, Jakarta, Senin (21/9/2020). Maklumat Kapolri tersebut berisi tentang kepatuhan protokol kesehatan dalam tahapan pemilihan 2020. Terdapat empat poin yang ditekankan Kapolri dalam maklumat tersebut, salah satunya menekan klaster COVID-19 di Pilkada. ANTARA FOTO/Reno Esnir/aww.


Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati dalam sebuah diskusi daring mengatakan, apabila keputusan penundaan pemilu benar-benar diambil, maka masyarakat justru akan mengapresiasi langkah tersebut. Pemerintah akan dinilai tanggap dalam melindungi rakyatnya dari situasi pandemi COVID-19.

Penundaan pilkada tersebut telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang perubahan UU Pilkada.

Jangan Berkerumun
Pemerintah hingga kini masih berpedoman pada keputusan bahwa puncak pilkada tetap akan dilaksanakan sesuai jadwal. Namun dengan pemberlakuan protokol kesehatan secara ketat.

Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman mengatakan penyelenggaraan pilkada tetap sesuai jadwal 9 Desember 2020. Hal itu demi menjaga hak konstitusi rakyat, hak dipilih dan hak memilih dan dilaksanakan dengan disiplin protokol kesehatan yang ketat.

Dalam kaitan itu, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian meminta jangan ada lagi pengumpulan massa pada tahapan pilkada. Pada tahapan pendaftaran bakal pasangan calon Pilkada 2020 terjadi kerumunan massa.

Hal itu, menurut Tito, jangan sampai terjadi lagi pada tahapan selanjutnya seperti saat penetapan pasangan calon dan kampanye. Pada saat pendaftaran ada kegiatan deklarasi dari pasangan calon kepala daerah menimbulkan kerumunan massa.

Pengumpulan massa tersebut terjadi karena kurangnya sosialisasi tentang aturan-aturan yang ada untuk mencegah penularan COVID-19. Juga kurangnya koordinasi antara pemangku kepentingan terkait lainnya.

Pekerjaan ini memang tidak bisa dikerjakan oleh penyelenggara pemilu sendiri, tetapi harus didukung oleh semua pihak. Kemudian dari hasil rapat evaluasi yang dilakukan beberapa hari yang lalu, ada tiga poin catatan yang mesti diperhatikan.

Pertama, menyosialisasikan tahapan pilkada. Mungkin tidak semua paham tentang tahapan pilkada dan kerawanan-kerawanannya.

Kedua, menyosialisasikan aturan-aturan termasuk Peraturan KPU. Yakni bagaimana yang mesti dilakukan pada pelaksanaan tiap-tiap tahapan di tengah wabah.

Ketiga, adanya kegiatan deklarasi para kontestan yang disaksikan parpolnya di daerah masing-masing agar patuh kepada protokol kesehatan COVID-19.

Mendagri menambahkan semua pasti paham tentang protokol kesehatan pada masa pandemi. Prinsipnya ada empat, yaitu memakai masker, menjaga jarak, membersihkan tangan dan menghindar dari kerumunan sosial yang tidak bisa jaga jarak.

Protokol kesehatan itu harus dipastikan benar-benar ditaati mengingat sebentar lagi akan masuk dalam tahapan penting pilkada. Salah satunya tahapan penetapan pasangan calon.

Pasangan calon yang lolos mungkin saja meluapkan kegembiraannya dalam bentuk deklarasi-deklarasi atau arak-arakan dan konvoi massa. Sebaliknya bakal calon yang dinyatakan tidak lolos, mungkin saja nanti pendukungnya melakukan aksi anarkis.

Risiko Penularan
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang juga Ketua Satgas Penanganan COVID-19 Letjen TNI Doni Monardo juga mengingatkan risiko penularan virus corona dalam pilkada jika tidak mematuhi protokol kesehatan.

Doni mengharapkan kerja sama dengan semua pihak, baik di pusat maupun daerah agar tetap mengikuti dan menaati ketentuan yang ada, termasuk tidak berkerumun guna menekan potensi penularan COVID-19.

Meski dalam pantauan pada masa pendaftaran calon kepala daerah awal September lalu ada banyak kerumunan, menurut Doni, sejauh ini hal tersebut masih dalam batas pengendalian.

Doni telah mendapatkan laporan terkait sejumlah penyelenggara pilkada yang positif COVID-19. Mereka yang positif tengah melakukan isolasi mandiri karena tanpa gejala.

Namun jika ada perkembangan gejala, mereka akan dirujuk ke rumah sakit yang telah ditunjuk Kementerian Kesehatan.

Pemerintah tentu terus mencermati perkembangan dan akan mengambil keputusan terbaik bagi bangsa dan seluruh rakyat dengan mempertimbangkan risiko yang sudah diperhitungkan secara komprehensif.

Rentang waktu hingga 9 Desember 2020 adalah masa penentuan apakah puncak pilkada bakal terlaksana atau ditunda lagi.

Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2020