Jakarta (ANTARA) - Guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra mendukung Ketua KPK Firli Bahuri diberhentikan dari jabatannya jika terbukti melakukan pelanggaran etik.

"Ini pelanggaran berat untuk etika, moral, kepatutan publik, memang seharusnya diberhentikan sebagai Ketua dan Komisioner KPK agar menjadi pelajaran bahwa lembaga antikorupsi harus jadi teladan dari sudut moral, etika kepatutan," kata Azyumardi dalam diskusi daring di Jakarta, Senin.

Azyumardi menyampaikan hal tersebut dalam Diskusi Publik Daring "Menakar Putusan Dewan Pengawas terhadap Dugaan Pelanggaran Kode Etik Ketua KPK" yang diselenggarakan Indonesia Corruption Watch (ICW).

"Kalau dia (Firli) terbukti melakukan hal yang tidak patut, dia tidak dalam posisi yang tepat untuk jadi komisioner atau apapun di KPK," tambah Azyumardi.

Baca juga: Putusan sidang etik Firli Bahuri akan digelar terbuka pada Selasa

Dewan Pengawas (Dewas) KPK rencananya akan membacakan putusan terhadap Firli Bahuri pada Selasa (15/9).

Firli Bahuri diadukan Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman terkait dengan penggunaan helikopter mewah saat perjalanan dari Palembang ke Baturaja, Sumatera Selatan, pada 20 Juni 2020.

Firli diduga melanggar kode etik dan pedoman perilaku "Integritas" pada Pasal 4 ayat (1) huruf c atau Pasal 4 ayat (1) huruf n atau Pasal 4 ayat (2) huruf m dan/atau "Kepemimpinan" pada Pasal 8 ayat (1) huruf f Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor: 02 Tahun 2020.

"Tidak bisa beralasan dibayar dengan duit sendiri, saat itu sedang libur juga tidak patut. KPK harus jadi simbol moral, simbol keteladanan, kebersihan kalau memakai helikopter tidak pada tempatnya misalnya Rp27 juta per jam, orang juga bertanya-tanya ini dari mana uangnya? Kan perhitungan gajinya berapa?" tambah Azyumardi.

Menurut Azyumardi, bila Dewas KPK tidak menjatuhkan sanksi keras, maka akhir dari sidang etik tersebut menemui jalan yang gelap, termasuk bagi anggota Dewas sendiri.

"Mereka ini orang-orang yang sepanjang karir bagus dan cemerlang tapi di ujung karir melakukan hal yang tidak patut juga bila tidak memberikan sanksi dan hanya akan mengurangi kredibilitas orang per orang di Dewas tersebut," ungkap Azyumardi.

Baca juga: Firli Bahuri hindari awak media sebelum jalani sidang etik

Artinya, menurut Azyumardi, bila Dewas melakukan hal yang tidak patut dalam penerapan sanski terhadap Firli, maka masyarakat juga meragukan kredibilitas Dewas KPK.

"Sudah sepatutnya KPK menampilkan kepemimpinan yang bersih dan sederhana karena kita tidak tahu juga asal usul uang untuk membayarkan helikopter itu, tapi memang tidak sepatutnya memakai helikopter karena tidak mencerminkan kepatutan sebagai pemimpin di KPK," tegas Azyumardi.

Sedangkan Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto mengatakan jabatan Firli sebagai ketua KPK melekat ke manapun ia pergi.

"Jabatan publik yaitu ketua KPK melekat pada diri Firli Bahuri sampai 4 tahun ke depan. Fenomena Firli ini hanya puncak gunung es dan terjadi karena proses sebelumnya yaitu konspirasi yang sempura dari parpol dan eksekutif sangat berhasil melemahkan KPK melalui revisi UU KPK," kata Sulistyowati dalam diskusi yang sama.

Ia mencontohkan bangsa Jepang dan Korea Selatan yang punya budaya malu bila melakukan suatu kesalahan kecil.

"Bangsa Jepang dan Korea kalau disebut terima uang 1 juta saja mundur tapi kenapa kita sebagai bangsa besar tidak bisa memiliki budaya malu? Tanpa hukum seharusnya budaya malu menjadi keadaban bersama bila melakukan kesalahan," ungkap Sulisyowati.

Peneliti ICW Lalola Easter juga mendorong Firli diberhentikan dari jabatannya.

"Kami mendorong Firli diberhentikan dari posisinya sebagai komisioner KPK. Hal ini konsisten kami sampaikan sejak Firli mengatakan tidak mundur sebagai polisi. Menurut kami 'Anda harus mundur dong' karena sapu yang kotor tidak akan bisa digunakan untuk membersihkan, dalam konteks Firli keanggotaan gandanya saja sudah bermasalah," kata Lalola.

Dengan menjabat sebagai polisi sekaligus Ketua KPK, menurut Lalola, Firli memiliki potensi konflik kepentingan.

"Padahal kita sama-sama tahu konflik kepentingan adalah pintu masuk paling awal untuk melakukan tindak pidana korupsi. Bila Dewas memutuskan sanksi yang tidak keras kepada Firli maka yang ditakutkan adalah kita semakin sulit berharap kepada KPK bukan semata karena KPK-nya tapi karena gangguan secara sistematis dilakukan atau dibiarkan oleh negara sehingga implikasinya yang paling terlihat adalah dukungan publik yang menurun terhadap KPK," tambah Lalola.

Baca juga: Sidang etik KPK yang mengusik meski tidak berisik

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2020