Intinya mempertegas negara hadir melindungi korban
Jakarta (ANTARA) -
PDI Perjuangan bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil mengharapkan agar fraksi-fraksi di DPR memiliki komitmen dalam mewujudkan sebuah aturan penghapusan kekerasan seksual (PKS) yang sudah menjadi konsern masyarakat dengan mengesahkan RUU PKS.
 
Harapan itu terungkap dalam diskusi publik bertajuk "Urgensi Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual" yang dilakukan secara virtual, di Jakarta, Kamis. Ketua DPP PDIP bidang Kesehatan, Perempuan, dan Anak Sri Rahayu, membuka acara tersebut.
 
Kepala Kelompok Fraksi (Kapoksi) PDI Perjuangan di Komisi VIII DPR, Diah Pitaloka, mengatakan banyak kelompok masyarakat, akademisi, artis, hingga kalangan legislator yang sudah mulai membicarakan draf RUU PKS.
 
"Kita berharap drafnya bisa cepat selesai, sehingga bisa segera kita usulkan di dalam proses legislasi di DPR. Kita harap itu bisa terjadi Oktober, sehingga September ini kalau bisa sudah selesai draf dan naskah akademiknya. Sehingga segera ada prapembahasan di teman-teman DPR yang akan menjadi pengusul," kata Diah.
 
RUU PKS sebenarnya sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas), namun dikeluarkan dari prioritas tahun ini.
 
Rencananya, RUU PKS akan kembali dimasukkan ke prioritas tahun 2021. Diah mengaku, sebagai yang sejak awal mendorong RUU ini, PDIP gembira dengan antusiasme serta dukungan publik yang makin besar.
 
"Saya yakin sekarang dukungan fraksi-fraksi di DPR makin menguat, semoga memang benar adanya. Tidak hanya di ruang populer tapi juga di ruang legislasi. Artinya jangan di luar bicaranya oke mendukung, begitu pembahasan tiba-tiba mundur. Kita berharap ada konsistensi juga dari teman-teman fraksi pendukung," kata Diah.
 
Valentina Sagala dari Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi RUU PKS menyatakan pihaknya sedang melakukan finalisasi draf RUU PKS yang akan diusulkan ke DPR.
 
Pihaknya mendefinisikan "Perlindungan adalah segala upaya mencegah, menangani, menyediakan perlindungan, memulihkan korban, menindak pelaku, memberikan rasa aman kepada korban, saksi, dan keluarga korban, dan mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual.
 
"Intinya mempertegas negara hadir melindungi korban," kata Valentina.
 
Selain itu, diusulkan juga 9 jenis kekerasan seksual, yakni pelecehan seksual; pemaksaan perkawinan; pemaksaan kontrasepsi; perkosaan; pemaksaan aborsi; eksploitasi seksual; pemaksaan pelacuran; perbudakan seksual; dan penyiksaan seksual.
 
Jaringan koalisi juga mengusulkan agar unsur-unsur tindak pidana kekerasan seksual dalam RUU ini lebih detail dibanding perumusan dalam RUU Hukum Pidana.
 
Dia mencontohkan, perkosaan dalam RUU Hukum Pidana mengatur unsur kekerasan atau ancaman kekerasan.
 
"Sementara dalam RUU ini unsur-unsurnya diperluas menjadi: kekerasan, atau ancaman kekerasan, atau tipu daya, rangkaian kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan,” katanya pula.
Baca juga: Cantika Abigail geregetan RUU PKS tak kunjung disahkan
 
Sedangkan soal pemidanaan, pihaknya mengusulkan pidana pokok dalam wujud penjara, denda, kerja sosial, hingga pidana pengawasan. Plus ditambah pidana tambahan berupa pencabutan hak asuh anak dan pengampuan; pengumuman identitas pelaku; perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; pencabutan hak politik; pencabutan hak menjalankan pekerjaan; pencabutan jabatan atau profesi; pembayaran ganti rugi; dan pembinaan khusus serta ada usulan tindakan rehabilitas khusus.
 
"Kami juga mengusulkan adanya ketentuan peralihan berisi pengaturan tindakan hukum yang sudah ada yaitu perkara kekerasan seksual yang masih dalam proses penyelesaian di tingkat penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, tetap diperiksa berdasarkan undang-undang yang mengaturnya," kata Valentina.
 
Pegiat gerakan masyarakat nahdliyin KH Marzuki Wahid mengatakan setiap pemeluk agama Islam pasti akan menolak kekerasan seksual, sehingga dirinya merasa aneh jika ada WNI pemeluk Islam tak setuju pengesahan RUU PKS.
 
"Saya meragukan keislamannya. Karena semua orang Islam pasti mengharamkan kekerasan seksual, pasti. Kalau ada orang Islam tidak mengharamkan kekerasan seksual, saya malah mempertanyakan cara pandang keislamannya," kata Marzuki pula.
Baca juga: KPPPA: Penghapusan RUU PKS dari prioritas jangan kendurkan semangat
Baca juga: RUU PKS masuk prioritas 2021, ini Prolegnas prioritas 2020

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2020