Yogyakarta (ANTARA News) - Kriminalisasi terhadap pegiat antikorupsi baik dari kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM) maupun lembaga negara sepatutnya diakhiri pada 2010, kata Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Zainal Arifin Mochtar.

"Pada tahun ini disinyalir terjadi tiga kali kriminalisasi yang dilakukan pemerintah terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Indonesian Corruption Watch (ICW), dan LSM Bendera," katanya saat menyampaikan prospek pemberantasan korupsi pada 2010, di Yogyakarta, Rabu.

Ia mengatakan, dengan menggunakan pasal karet pencemaran nama baik dan fitnah, pemegang kekuasaan dengan mudah menjerat pihak yang ingin membongkar kasus korupsi khususnya kalangan LSM.

Menurut Zainal, seharusnya pemerintah maupun subjek yang disebut namanya sebagai penikmat dugaan hasil korupsi tidak langsung "kebakaran jenggot" dan  dengan jalan hukum.

"Sebaiknya mereka melakukan klarifikasi balik terhadap sangkaan tersebut. Saat ini bukan zamannya lagi menggunakan pasal karet pencemaran nama baik maupun fitnah untuk menghentikan laju masyarakat yang ingin ikut memberantas atau mencegah kasus korupsi. Penggunaan pasal karet itu adalah bagian dari `sesat paradigma` dalam usaha pemberantasan korupsi," katanya.

Menurut dia, sesat paradigma selayaknya diakhiri sejak sekarang. Laporan dari masyarakat tentang adanya dugaan tindak pidana korupsi mestinya dijadikan bukti awal untuk membongkar skandal korupsi yang dilaporkan.

"Dengan demikian, pemerintah dan masyarakat dapat bekerja sama menciptakan Indonesia bebas dari korupsi," katanya.

Ia mengatakan, pada 2010 pola menunggu dalam pemberantasan korupsi harus dihapus karena menyebabkan banyak koruptor lari ke luar negeri.

Pola menunggu, menurut dia, akan memberikan jeda waktu kepada para koruptor untuk memikirkan strategi dan skema lari yang dapat dipakai untuk mengelabui para penegak hukum.

"Pemerintah juga wajib memiliki keberpihakan dalam pemberantasan korupsi. Keberpihakan tersebut bukan pada para koruptor, melainkan pada para punggawa pemberantasan korupsi," katanya.(*)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009