Provinsi Riau (ANTARA) - Jikalahari Riau meminta agar aktivitas perburuan ilegal satwa liar serta perusakan habitat alami keanekaragaman
hayati di Riau dan sejumlah daerah lainnya di tanah air agar segera dihentikan untuk menekan penyebaran penyakit menular seperti COVID-19 itu.

"Perusakan habitat alami adalah faktor yang mendasari merebaknya penyakit menular atau zoonosis itu seperti riset yang dipublikasi di jurnal Proceedings of Royal Society," kata Made Ali, Koordinator Jikalahari dalam keteranganya kepada Antara di Pekanbaru, Senin.

Menurut Made Ali, zoonosis merupakan wabah yang disebabkan oleh penularan virus hewan liar ke manusia. Studi ini menemukan 70 persen penyakit manusia adalah zoonosis seperti wabah virus corona baru penyebab COVID-19, 140 virus telah ditularkan dari hewan ke manusia dan hewan tersebut masuk dalam daftar merah spesies terancam punah IUCN.

Ia mengatakan para pembuat kebijakan harus fokus dan siap siaga mencegah risiko penyakit zoonosis, dengan mengembangkan kebijakan terkait lingkungan, pengelolaan lahan dan sumber daya hutan seperti imbauan Christine Johnson, peneliti utama dalam studi ini.

"Sedangkan menurut Farida Camallia, penasihat teknis dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), ada tiga faktor yang mempengaruhi persebaran zoonosis dari satwa liar. Pertama, keanekaragaman mikroba satwa liar dalam suatu wilayah tertentu, kedua perubahan lingkungan, dan ketiga, frekuensi interaksi antara hewan dan manusia. Jika salah satu faktor ini terganggu, dipastikan zoonosis pun menyebar," katanya.

Baca juga: Jikalahari minta gubernur Riau publikasikan perusahaan pembakar lahan

Baca juga: Menggugat 78 persen hutan Riau yang dikuasai korporasi


Lalu di tengah pandemi COVID-19, katanya lagi, perusakan hutan alam oleh korporasi, karhutla, konflik satwa, kriminalisasi terhadap masyarakat adat dan pembunuhan terhadap flora fauna serta praktik greenwashing masih dilakukan di Riau.

"Di tengah pandemi saja faktor-faktor penyebab penyebaran penyakit zoonosis masih dilakukan di Riau,” kata Made Ali dan menambahkan dampak lainnya, karhutla di konsesi korporasi juga terus terjadi setiap tahun yang menyebabkan pencemaran udara akibat kabut asap. Peristiwa kabut asap nyaris berulang sejak 1997 hingga kini.

Jutaan orang menderita ISPA dan puluhan meninggal dunia. Pada 2015 saja, BNPB menyebutkan 43 juta orang terkena dampak kabut asap dan 500.000 orang mengalami infeksi pernafasan serius dan 19 orang meninggal dunia.

Bahkan hasil penelitian Harvard University, menyebutkan 100.000 jiwa mengalami kematian prematur akibat asap karhutla 2015 dan 90 persen berada di Indonesia.

"Hanya ada satu cara normal baru untuk menghentikan penyebaran virus zoonosis yaitu dengan menghentikan kerusakan hutan alam, memulihkan dan mengembalikan fungsi hutan sebagai habitat satwa serta memelihara keanekaragaman hayati, atau kembalikan virus zoonosis ke habitat asalnya sehingga, bukan hanya menanggulangi, pemerintah juga mencegah penularan penyakit zoonosis lainnya di masa datang," katanya.*

Baca juga: Jikalahari desak Gubernur segel perusahaan pembakar hutan dan lahan

Baca juga: Jikalahari nilai pimpinan PT SSS sudah seharusnya ditahan Kapolda Riau

 

Pewarta: Frislidia
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020