kebodohan abad 21 bukanlah orang yang tidak bisa baca dan tulis
Jakarta (ANTARA) - Rektor IPB University Prof Arif Satria mengatakan pandemi COVID-19 telah mendorong masyarakat untuk menjadi pembelajar yang lincah dengan pola pikir yang terus berkembang bukan pola pikir yang tetap.

"Mengutip pandangan Alvin Toffler, bahwa kebodohan abad 21 bukanlah orang yang tidak bisa baca dan tulis, tapi bodoh pada abad 21 adalah mereka yang tidak mampu belajar, tidak bisa menjadi pembelajar untuk melakukan proses adaptasi terhadap perubahan yang terjadi secara cepat," ujar Arif dalam keterangannya di Jakarta, Minggu.

Arif Satria juga mengingatkan bahwa persoalan COVID-19 hanya bisa diselesaikan dengan pendekatan sains, bukan pendekatan politis. Oleh sebab itu, kebijakan publik terkait penanggulangan COVID-19 harus bisa mengubah paradigma pendekatannya berbasis pada sains, bukan lagi pada pendekatan politis.

Baca juga: Komisi X dorong program berkelanjutan pendidikan jarak jauh
Baca juga: Wapres: Pendidikan kunci Indonesia menjadi lebih baik


Hal itu diungkapkan Arif dalam webinar "Transformasi Pendidikan di Era Pandemi COVID-19", yang diselenggarakan oleh Pengurus Pusat Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia /PPKBPII.

Anggota Komisi X DPR, Prof Dr Zainuddin Maliki, mengatakan ketertinggalan dan kegagalan bangsa Indonesia dalam mengantisipasi ledakan ilmu pengetahuan dan teknologi melahirkan kompleksitas yang luar biasa.

"Ketertinggalan ini terjadi karena kita tidak pernah serius mengurus persoalan pendidikan sejak dulu sampai sekarang. Sistem pendidikan dan kurikulum pendidikan yang ada sekarang, hanya bisa menghasilkan lulusan yang seolah-olah, sehingga tidak punya kompetensi yang jelas, tidak mampu berpikir kreatif, inovatif, adaptif terhadap perubahan, lulusan yang mampu berpikir solutif mengatasi persoalan," kata Zainuddin.

Oleh sebab itu model penilaian pembelajaran yang lebih mengedepankan hasil tes dengan standarisasi yang baku dan kaku, menjadi kurang relevan untuk bisa bersaing menghadap perubahan dan ketidakpastian yang semakin cepat.

Baca juga: JPPI minta pemerintah selamatkan sektor pendidikan
Baca juga: Sekolah "online"


Zainuddin Maliki juga menyoroti kebijakan anggaran pendidikan 20 persen sebagaimana amanah UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 hanya bersifat semu. Hal itu dikarenakan anggaran 20 persen dari APBN tidak semuanya diterima dan digunakan oleh satker dunia pendidikan, tapi juga dihitung dari anggaran kementerian atau lembaga lain yang juga menyelenggarakan kegiatan pendidikan kedinasan sebagai bagian dari 20 persen anggaran pendidikan.

"Apalagi dalam situasi pandemi COVID-19, pemerintah melakukan pemotongan anggaran pendidikan sampai Rp4,9 triliun untuk penanggulangan COVID-19. Seharusnya jumlah sebesar itu harus kembali digunakan untuk penanggulangan pada sektor pendidikan, karena sektor pendidikan juga sangat terdampak COVID-19.

Baca juga: Hardiknas, Pemprov Sulsel bahas kondisi pendidikan masa pandemik
Baca juga: MPR: Penuhi hak pendidikan rakyat selama pandemi COVID-19


Sementara Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhajir Effendy melihat bahwa upaya pemerintah dalam penanganan COVID-19 tidak semata mata urusan ekonomi dan mengabaikan sektor lainnya. Besarnya alokasi anggaran Rp200 triliun untuk sektor ekonomi diantaranya untuk menopang sektor UMKM.

Muhajir mengakui bahwa pada krisis 1997-1998, UMKM memang tangguh menghadapi badai krisis, tapi pada wabah pandemi COVID-19, sektor UMKM juga ikutan ambruk. Oleh sebab itu, pemerintah tidak ingin UMKM juga ikut ambruk di tengah pandemi COVID-19.

Baca juga: Hetifah Sjaifudian usulkan hibah pendidikan dampak COVID-19
Baca juga: Menilik kebijakan DKI siapkan sekolah jadi alternatif penanganan COVID

Pewarta: Indriani
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2020