Jakarta (ANTARA) - Berdasarkan hasil pemodelan kualitas udara, perpanjangan pelaksanaan physical distancing yang lebih ketat berpeluang memperbaiki kualitas udara di Jakarta dalam lima hingga 10 hari ke depan.

"Berdasarkan regresi linear yang telah dilakukan, terlihat ada potensi penurunan pencemaran udara menuju kualitas udara dengan kategori Baik (PM2.5 concentration max 15 μg per m3) dalam 5-10 hari ke depan," kata Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin di Jakarta, Selasa.

Perbaikan kualitas udara menjadi Baik itu, menurut dia, terutama akan terjadi apabila social atau physical distancing terus dijalankan dengan lebih baik dan dengan pelarangan total kendaraan penumpang pribadi dan umum melintas di Jabodetabek tanpa alasan yang urgent dan emergency, guna memperoleh manfaat ganda, selain untuk mencegah penularan COVID-19 dan menurunkan pencemaran udara yang dapat meringankan risiko pasien yang terinfeksi SARS-CoV-2.

Selama social atau physical distancing masih belum berjalan secara sempurna yang ditandai oleh disiplin masyarakat maupun tindakan tegas aparat penegak hukum, maka pencemaran udara masih akan relatif tinggi, ujar dia.

Sebagaimana yang terjadi di Provinsi Hubei, China, di mana ketika awal kebijakan isolasi total diterapkan untuk Kota Wuhan, maka kualitas udara tidak serta merta membaik. Namun memerlukan proses peluruhan fine particulate ke permukaan tanah dan perlu isolasi total, termasuk terhadap lalu lintas kendaraan bermotor yang dimaksudkan untuk menghentikan proses penularan COVID-19 yang kemudian memberikan manfaat ganda dalam menghentikan paparan debu jalanan dan emisi lainnya, katanya.

Regresi linear yang dilakukan KPBB untuk mengetahui kualitas udara selama periode pelaksanaan social atau physical distancing selama 16-25 Maret 2020 dengan menganalisa data kualitas udara berdasarkan Ambient Air Quality Monitoring Station (AAQMS) atau Stasiun Pemantau Kualitas Udara Ambient, dan Roadside Air Quality Monitoring atau pemantauan kualitas udara pinggir jalan yang ditempatkan di lima titik merepresentasikan kelima wilayah kota di Jakarta.

Untuk AAQMS, Ahmad bersama timnya menggunakan data hasil pemantauan AAQMS-US Embassy yang ditempatkan di Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan.

AQMS di Jakarta Pusat menunjukkan rata-rata konsentrasi PM2.5 antara tanggal 16-25 Maret 2020 adalah 30.13 μg per meter kubik (m3) atau masih lebih tinggi dari rata-rata pada periode yang sama di 2019 yang mencapai 14.99 μg per m3. Sebagai konsekuensi bahwa periode Januari hingga 2020 memang lebih tinggi pencemaranya mencapai 25.78 μg per m3 dibandingkan periode yang sama di 2019 yang mencapai 24.49 μg per m3.

Dari hasil AQMS–US Embassy yang ditempatkan di Jakarta Selatan terlihat rata-rata pada saat diterapkan social atau physical distancing antara 16-25 Maret 2020 adalah 44.62 33 μg per m juga masih lebih tinggi dari rata-rata pada periode yang sama pada 2019 yaitu 30.49 μg per m, sekalipun mulai menunjukkan data penurunan secara berangsur-angsur atas konsentrasi parameter PM2.5.

Sementara dari sampling Roadside Air Quality Monitoring yang mengukur pencemaran udara pinggir jalan (bukan pencemaran udara ambient) dari lima titik pemantauan roadside pada 17-23 Maret 2020 dengan enam parameter yang diukur, di antaranya karbon monoksida (CO), hidro karbon (HC), nitrogen dioksida (NO2), Ozone (O3), particulate matter 10 (PM10), sulfur dioksida (SO2) menunjukkan kecenderungan menurun tajam dibandingkan hasil pengukuran di lokasi yang sama pada 2011 sampai dengan 2019.

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020