"Kaspersky menyatakan bahwa ada 14 juta upaya phishing hanya di Asia Tenggara sepanjang paruh pertama 2019, bahkan sebagian besar menyasar Indonesia," kata Pratama Persadha, di Semarang, Selasa.
Semarang (ANTARA) - Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi CISSReC Doktor Pratama Persadha menyebut social engineering (rekayasa sosial) lewat phishing (pengelabuan) akan tetap tinggi pada tahun 2020.

"Kaspersky menyatakan bahwa ada 14 juta upaya phishing hanya di Asia Tenggara sepanjang paruh pertama 2019, bahkan sebagian besar menyasar Indonesia," kata Pratama Persadha, di Semarang, Selasa.

Menurut pakar keamanan siber ini, ancaman besar juga datang akibat kurang siap sumber daya manusia (SDM) dalam menghadapi ancaman siber dan digitalisasi.

Dalam hal ini, pemerintah cukup menyadari dengan mengadakan Digital Talent 2019 yang salah satunya memperbanyak SDM dengan kemampuan di bidang siber, di antaranya keamanan siber.

Ancaman yang cukup serius bagi Indonesia pada tahun 2020, lanjut dia, adalah penggunaan data pribadi dan data lainnya, terutama setelah keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE).

Di dalam PP PSTE mengatur tentang penempatan pusat data yang lebih fleksibel. Padahal, kata Pratama, pada saat bersamaan Indonesia belum memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, sehingga kedaulatan data bangsa ini terancam.

Pratama yang juga dosen Etnografi Dunia Maya pada Program Studi S-2 Antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta mengutarakan bahwa aspek penguatan keamanan siber tidak hanya pada teknis, tetapi juga edukasi kepada masyarakat sehingga memperkecil peluang penipuan.
Baca juga: Prediksi ancaman kejahatan siber finansial tahun 2020

Ia juga mengemukakan bahwa serangan berbasis IOT (internet of things) juga akan makin meningkat pada tahun 2020.

Dengan makin marak perangkat terhubung satu sama lain, menurut Pratama, bisa menciptakan celah bagi penyerang untuk membajak perangkat ini untuk menyusup ke jaringan bisnis.

Karena itu, baik pihak perbankan, marketplace, maupun siapa pun yang berbisnis dengan internet dan aplikasi, kata Pratama, harus memperhatikan hal itu.

Di lain pihak, Pratama juga mengatakan bahwa ancaman terhadap kelangsungan Pilkada Serentak 2020 di Tanah Air juga bisa berasal dari wilayah siber.

Selain peretasan, kata dia, ancaman dari media sosial lewat hate speech (ujaran kebencian) dan hoaks juga sangat membahayakan berlangsungnya proses pilkada serentak.

"Penegakan hukum dan edukasi kepada masyarakat akan sangat membantu mengurangi ancaman terhadap pilkada serentak," kata pria kelahiran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini pula.
Baca juga: RUU Ketahanan dan Keamanan Siber ditargetkan rampung 2020

Tren hoaks akan masuk ke level lebih tinggi dengan adanya deepfake yang dikembangkan dengan artificial intelligence (AI). Salah satu hasilnya adalah video hoaks yang secara kasatmata sulit sekali dibedakan mana asli mana hoaks.

"Ini harus diwaspadai sejak dini karena rawan memecah belah masyarakat bawah," kata Pratama yang pernah menjabat Plt. Direktur Pengamanan Sinyal Lembaga Sandi Negara (sekarang BSSN).

Pewarta: D.Dj. Kliwantoro
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2019