Jakarta (ANTARA) - MPR periode 2014-2019 lalu, sebelum berakhir masa jabatannya sempat mewacanakan amendemen terbatas Undang-undang Dasar 1945.

Badan Pengkajian MPR ketika itu menyiapkan amendemen terbatas mengenai pokok-pokok haluan negara yang telah disempurnakan.

MPR telah menyepakati perlunya haluan negara seperti Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) untuk dimasukkan dalam konstitusi lewat amendemen terbatas UUD.

Haluan negara yang diwacanakan pun hanya agar pembangunan lebih terarah, bukan diposisikan seperti sistem rancangan pembangunan GBHN orde baru yang menjadi bahan evaluasi setiap lima tahun dan dipergunakan juga untuk mengevaluasi kinerja presiden.

Amendemen terbatas itu kembali menguat pada periode MPR 2019-2024, para pimpinan MPR mulai turun ke masyarakat guna mendengarkan masukan dari berbagai segmen.

Namun, berbarengan dengan rencana amandemen tersebut, juga muncul wacana perubahan masa jabatan presiden, bukan hanya soal haluan negara saja.

Wacana tersebut contohnya seperti usulan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang mengusulkan agar masa jabatan presiden diubah menjadi tujuh tahun, tetapi dibatasi hanya satu periode.

Baca juga: Pengamat sebut jabatan presiden lima tahun sudah ideal

"Jika hanya satu periode, setiap presiden akan bekerja semaksimal mungkin, fokus bekerja buat rakyat dan tak memikirkan pemilu berikutnya," kata Ketua DPP PSI Tsamara Amany.

PSI menilai masa jabatan satu periode akan membuat presiden terlepas dari tekanan politik jangka pendek dan lebih fokus untuk melahirkan kebijakan terbaik.

Kemudian juga muncul penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Menurut Wakil Ketua MPR dari Fraksi PPP Arsul Sani, usulan masa jabatan presiden sebanyak tiga periode berasal dari anggota Fraksi Partai NasDem, tapi ia enggan mengatakan orang yang mengusulkan.

Wacana perubahan masa jabatan tersebut kemudian mendapatkan tanggapan dari sejumlah kalangan, karena dianggap menjadi ancaman bagi demokrasi.

Direktur Eksekutif Parameter Politik Adi Prayitno berpendapat mengubah masa jabatan presiden menjadi tiga periode menjadi kemunduran bagi sistem demokrasi yang telah dianut Indonesia sejak awal reformasi.

"Bangsa ini bersusah payah merebut reformasi ini, jangan pernah mengusulkan jabatan presiden tiga periode," kata dia.

Konvensi batasan dua periode untuk kepemimpinan presiden tujuannya agar ada proses sirkulasi elite politik dalam pemerintahan berjalan secara baik.

Baca juga: Pimpinan MPR diskusi amendemen UUD 1945 dengan PBNU

Sementara, jika presiden menjabat tiga periode, tentunya akan merusak sistem demokrasi karena elite yang sama berkuasa terlalu lama. Watak otoriter akan kembali dan menenggelamkan demokrasi.

"Tiba-tiba kemewahan reformasi yang kita dapat beberapa tahun belakangan kemudian dipaksa ingin mundur kembali, jadi kacau demokrasi kita," ucapnya.

Seharusnya wacana tersebut tidak pernah dimunculkan karena begitu gampang terealisasi jika partai politik sepakat dengan perubahan masa jabatan presiden

Hal tersebut oleh karena era demokrasi sekarang ini merupakan rezimnya partai politik, semua ditentukan oleh sikap parpol. Hal itu terbukti dengan Revisi Undang-undang KPK yang tidak perlu waktu lama.

"Baik buruknya negara ini ditentukan bagaimana partai politik itu bersikap," ujarnya.

Membuka Kotak Pandora

Wacana perubahan masa jabatan presiden tidak hanya memberikan ancaman kembalinya otoriter menguasai pemerintahan, tetapi juga membuka kotak Pandora untuk persoalan-persoalan lain yang tidak seharusnya diubah dari negara ini.

Politisi Partai Gerindra Fadli Zon mengatakan kotak pandora tersebut berupa persoalan berantai yang akan muncul ketika wacana itu diakomodasi dalam amandemen terbatas Undang-undang Dasar 1945.

Baca juga: Perpanjangan masa jabatan presiden, Fadli Zon: Itu wacana berbahaya

"Orang mau mengubah apa saja (dari UUD) nantinya bisa, nanti malah ada mempertanyakan dasar negara dan lain-lain yang membahayakan negara, kan bisa saja orang minta semacam itu," kata dia

Konsekuensi perubahan masa jabatan begitu berat untuk negara jika benar-benar diakomodasi dalam amandemen terbatas, hal tersebut menjadi pintu masuk setiap orang dimasa mendatang jika ingin mengubah hal-hal mendasar lain yang ada di dalam UUD 1945.

Baca juga: Pengamat: Jangan sekali-kali mengusulkan jabatan presiden tiga periode

Kemudian, setiap orang atau kelompok akhirnya bisa saja "mengobrak-abrik" Undang-undang Dasar untuk memuluskan kepentingan mereka. Hal seperti ini tentunya akan menghancurkan demokrasi yang sudah dibangun selama 20 tahun belakang.

"Itu wacana yang berbahaya bagi demokrasi kita, harus dihentikan karena itu akan memicu kontroversi dan kegaduhan," ujar Fadli Zon berpendapat.

Pengamat Hukum Tata Negara dari UIN Raden Fatah Palembang Dr Faisol Burlian menyebut jabatan presiden selama lima tahun dengan maksimal dua periode sudah ideal sehingga tidak perlu diubah.

"Jabatan presiden lima tahun sudah teruji sejak zaman orde baru, memang di negara demokrasi lain tidak lebih dari lima tahun, bahkan di Amerika saja hanya empat tahun," ucap Dr Faisol Burlian.

Masa lima tahun pertama dapat digunakan presiden untuk menjalankan program-program pembangunan yang bisa langsung dirasakan masyarakat, sedangkan lima tahun kedua untuk mengembangkan lagi pembangunan itu yang sudah berjalan.

Kemudian, ketika presiden tidak bisa melanjutkan ke periode kedua artinya rakyat sudah tidak percaya dengan kepemimpinannya. Kondisi tersebut tentu bukan sebuah permasalahan karena presiden telah melaksanakan tugasnya.

"Pembangunan adalah sebuah keniscayaan yang pasti dilakukan siapa pun presidennya. Tapi memang bagusnya presiden itu dua periode," tuturnya.

Baca juga: Pakar Hukum bedah diskursus masa jabatan Presiden tiga periode

Wacana amendemen hanya akan menimbulkan gejolak masyarakat dengan gelombang yang masif, masyarakat menilai hal tersebut sebagai kemunduran dalam berdemokrasi.

"Periode kekuasaan presiden yang diatur UUD 1945 saat ini sudah aturan paling bagus dan murni sejak disahkan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), saya melihat lamanya lima tahun itu banyak positifnya," ujar Dr Faisol Burlian menjelaskan.

Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto meyakinkan partainya tetap berpandangan amendemen Undang-undang Dasar hanya mengenai haluan negara bukan mewacanakan perpanjangan masa jabatan presiden.

"PDIP perjuangan tidak menyuarakan wacana perpanjangan masa jabatan karena kami berkomitmen terhadap semangat reformasi," kata Hasto Kristiyanto.

Jabatan presiden yang dipakai Indonesia saat ini masih ideal, sehingga tidak perlu ada perubahan poin tersebut dalam amendemen terbatas.

"Kekuasaan presiden itu dua kali berdasarkan konstitusi ketentuan, sekarang masih ideal," imbuh dia.

Sementara, amendemen Undang-undang Dasar 1945 berkaitan dengan haluan negara memang dianggap perlu. Mengingat Indonesia menurut dia adalah bangsa yang besar, oleh karena itu memerlukan perspektif jangka panjang yang mengikat seluruh lembaga tinggi negara dan rakyat.

"Mengikat seluruh lembaga tinggi negara, mengikat seluruh rakyat Indonesia terhadap haluan negara di dalam perspektif 25 tahun 50 tahun bahkan 100 tahun," ujarnya.

Parpol PDI Perjuangan memastikan tidak memiliki agenda lain pada amandemen terbatas selain mengenai haluan negara.

Baca juga: Hasto: Amendemen hanya haluan tidak masa jabatan presiden

Baca juga: F-Demokrat tolak amendemen UUD terkait mekanisme pemilihan presiden


Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019