Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) Henri Subagiyo mengatakan salah satu faktor kelemahan pengendalian kebakaran hutan dan lahan (karhutla) karena hanya dianggap sebagai tanggung jawab Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Pihak-pihak yang menyalahkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) saja berarti belum memahami pokok permasalahan selama ini.

"Tanggung jawab penanganan karhutla itu ada di setiap instansi pemerintahan baik pusat maupun daerah, bukan cuma KLHK," kata Henri ketika dihubungi di Jakarta, Rabu.

Seharusnya, kata Henri, Instruksi Presiden Nomor 11 Tahun 2015 dipakai untuk mengevaluasi secara komprehensif masalah karhutla. "Apakah inpres tersebut sudah dilaksanakan atau belum," katanya.

Di dalam inpres yang dikeluarkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tersebut, termuat langkah-langkah penanganan karhutla mulai dari kementerian/lembaga di pusat dan daerah serta aparat keamanan.

Baca juga: Bantuan ditolak, Anies bersyukur karhutla Riau sudah bisa di atasi
Baca juga: Karhutla, penerbangan Yogyakarta-Palangkaraya dan Samarinda dialihkan


Pusat evaluasi, menurut Henri, tidak hanya pada KLHK, tapi juga Kementerian Pertanian (Kementan) untuk perkebunan, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk ketaatan daerah terkait dengan Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah (RTRW).

Bahkan, aparat keamanan juga mempunyai tanggung jawab tidak kalah penting untuk melakukan penegakan hukum (gakkum).

Pemerintah daerah (pemda) juga sama tanggung jawabnya karena pemda mengeluarkan izin dalam skalanya. Misalnya izin terkait perkebunan.

Seharusnya, pemda juga melakukan pengawasan perizinan bahkan sebelum terjadi karhutla di areal konsesi maupun masyarakat.

Penanganan karhutla sebenarnya sudah menjadi pokok-pokok yang diatur dalam Inpres Nomor 11 Tahun 2015 sehingga jika karhutla terjadi lagi, maka yang dipertanyakan seharusnya yang mengeluarkan instruksi tersebut.

"Jadi yang harusnya ditanya adalah Presiden. Bagaimana dia memastikan semua instansi di bawahnya bekerja sesuai dengan tugas tanggung jawab masing-masing sesuai amanat Inpres Nomor 11 Tahun 2015 tentang Karhutla," ujar Henri.

Menurut Henri Subagiyo, langkah-langkah penanganan karhutla sudah bagus tapi masalahnya, karhutla terjadi lagi. Artinya, sistem pengawasan dan evaluasi pengendalian karhutla yang ada selama ini perlu diperkuat.

"Teguran saja oleh presiden tidak cukup. Kalau evaluasi itu jelas apa yang kurang dari masing-masing instansi termasuk daerah dan apa yang harus diperbaiki ke depan. Jadi evaluasi basisnya lebih terukur dan bisa dimonitor pelaksanaannya," kata dia.

Gagal
Sebelumnya, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Gerindra Bambang Haryo menyampaikan keprihatinannya dengan penanganan karhutla oleh KLHK.

"Jadi kami sangat prihatin dengan hal ini. Ini terbukti Kementerian LHK gagal hampir sama seperti di 2015," kata Bambang dalam rapat paripurna pengambilan keputusan pengesahan RUU KPK di Jakarta, Selasa (17/9). Menurut dia, pemerintah berkewajiban untuk melindungi hutan dan menghitung kerugian masyarakat akibat karhutla.

"Jadi sesuai Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 48 Ayat 1 dikatakan bahwa pemerintah pusat dengan pemerintah daerah berkewajiban untuk melindungi daripada hutan kita, merawat hutan dengan baik," kata Bambang.

Bambang menyesalkan akibat kebakaran ini. "Sudah berapa kerugian masyarakat, mulai dari transportasi jalan, juga masalah kesehatan masyarakat juga masalah pariwisata yang sedang digalakkan pemerintah," katanya.

Menurut dia, bencana karhutla serta kabut asap yang menyertainya baru bisa padam ketika ada hujan. "Jadi bukan memadamkan, harusnya dimulai awal titik api atau benih-benih kebakaran sudah bisa kita cegah lebih dahulu," ujar dia.

Baca juga: Gubernur Kalteng: Masalah karhutla jangan lagi saling menyalahkan
Baca juga: Sejumlah penerbangan Bandara SSK II Pekanbaru tertunda akibat asap


Kemudian, anggota DPR Fraksi Partai Nasional Demokrat, Syarif Abdullah menilai pemerintah tidak memiliki cara yang efektif dalam menghadapi bencana karhutla pada musim kemarau.

Ia pun meminta penegakan hukum diterapkan dalam penanganan kebakaran hutan. "Ini ada ketidaklanjutan dari stakeholder yang ada karena setiap waktu kita menjelang musim kemarau musim kering seperti ini, selalu ada kebakaran hutan," kata Syarif.

"Baik eksekutif maupun yudikatif, karena banyak permasalahan hutan ini yang bebas dari pengadilan. Kami meminta perlakuan. Yang sama terhadap penegakan hukum ini," kata dia.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat berada di Pekanbaru, Riau, mengakui kurangnya kerja sama yang efektif serta inisiatif yang maksimal antara kementerian dan lembaga di tingkat pusat dan daerah serta aparat keamanan.

Selain itu, di tingkat pemerintah daerah ada gubernur serta perangkat di bawahnya seperti bupati/wali kota, camat, lurah/kepala desa yang sebenarnya mampu melakukan segala upaya pencegahan karhutla.

Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) dan Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) seharusnya bisa menginstruksikan jajaran di bawahnya untuk ikut serta menindak kejahatan yang dapat menimbulkan kebakaran hutan dan lahan.

"Tapi perangkat-perangkat ini tidak diaktifkan dengan baik," ujar Jokowi berdasarkan rilis yang diterima di Jakarta, Senin (16/9).

Namun karena status karhutla sudah siaga darurat, Presiden Jokowi langsung menginstruksikan sejumlah langkah yang harus dilakukan terkait penanganan karhutla.

Pertama, Presiden meminta Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melakukan proses hujan buatan dengan cakupan yang lebih luas. Selain itu, penambahan pasukan pemadam juga harus dilakukan.

Kedua, meminta aparat keamanan bertindak tegas terhadap para pelaku pembakaran hutan dan lahan yang berasal dari kalangan korporasi hingga individu.

Ketiga, Kepala Negara meminta pengawasan diperketat di lokasi-lokasi sekitar kebakaran agar titik api yang sudah diketahui tidak menyebar lebih luas.

 

Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019