Jakarta (ANTARA) - Usai membuka kejuaraan angkat besi internasional "2nd Indonesia International Weightlifting Championships" di Semarang pada 30 Agustus, Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga RI (Sesmenpora) Gatot S. Dewa Broto mengungkapkan tekad  pemerintah membuat program regenerasi atlet secara berkesinambungan.

Ia menilai  kendala kebanyakan cabang olahraga di dalam negeri adalah turunnya prestasi atlet-atlet muda yang melangkah ke jenjang senior.

Menurut kajian Kemenpora, sebagian besar bibit atlet hanya menikmati periode kompetisi saat remaja atau junior, namun ketika memasuki periode senior prestasinya menurun atau bahkan tidak berlanjut ke tahap lebih baik.

Gatot meyakini banyak faktor yang mempengaruhi semua itu, mulai dari fokus ke jalur pendidikan formal, ketidakmampuan atlet, bosan, hingga kurangnya motivasi dalam berprestasi.

Dalam satu kunjungan ke Singapura pada 2016, delegasi Kemenpora mendapat masukan dari otoritas Negeri Merlion itu. Mereka bilang, anak-anak tak boleh dipaksa, harus seimbang antara porsi belajar dan bermain.

Singapura tidak memaksakan atlet remaja atau juniornya mendulang prestasi, namun lebih kepada upaya menanamkan kesukaan dan konsistensi berlatih pada cabang olah raga yang diikuti.

Peran orang tua sebagai inner circle atlet pun harus disesuaikan dengan tujuan ini.

Meski tidak mewajibkan orang tua berperan aktif dalam pengembangan prestasi, faktanya kedekatan orang tua dan anak memang tercermin dari prestasi-prestasi yang ditorehkan atlet muda.

Misalnya Rizki Juniansyah, lifter remaja Banten yang menjuarai nomor 67kg remaja putra pada 2nd IIWC pekan lalu dengan total angkatan fantastis mencapai 286kg.

Dari mulut Rizki yang berpostur tinggi ramping terungkap sebuah fakta, ternyata kemampuannya mengangkat beban yang bahkan melampaui kelas junior itu berkat latihan dan perhatian orang tuanya.

Ayahnya adalah mantan atlet angkat besi era 80-an yang pernah tiga kali mengikuti SEA Games. Namanya, Muhammad Yasin.

Melalui "Bulldog Gym Club", klub angkat besi yang ia dirikan, Yasin menempa Rizki menjadi atlet remaja yang diharapkan berprestasi melampaui ayahnya.

Yasin mengaku dia memang memberikan pola latihan lebih keras dibandingkan anggota klubnya yang lain. Dia ingin anaknya menjadi contoh untuk rekan-rekanya.

Rizki yang mulai mengenal angkat besi sejak usia TK itu bahkan harus memutuskan untuk meninggalkan hobinya bersepeda motor, agar fokus ke angkat besi.

Tidak itu saja, Yasin juga kerap menghukum remaja kelahiran 2003 itu. Tujuannya, menggembleng si calon atlet.

Yasin mengaku menyimpan sesal telah mendidik putranya sekeras itu, tetapi dia sudah pasti senang dan bangga atas prestasi yang diukir putranya.

Selain pernah mengikuti kejuaraan angkat besi di Thailand, Rizki juga menyabet tiga medali emas pada 2nd IIWC. Dia ditargetkan mengisi formasi timnas untuk masa mendatang.

Baca juga: Bermimpi adalah hak tiap anak bangsa, termasuk putra putri Pangalengan

Suka olahraga

Dukungan tidak melulu datang dari orang tua berlatar belakang atlet. Mereka yang tidak memiliki catatan keolahragaan sekalipun kerap menjadi arsitek di balik atlet-atlet besar berprestasi besar.

Masih dari angkat besi. Lifter putri Cicing Way asal Sumatera Selatan juga mengenal dan menerjuni cabang olahraga ini, karena dukungan besar ayahnya.

Tak seperti orang tua Rizki, ayahanda Cicing buka atlet. Sang ayah hanya orang yang sangat menyukai olahraga. Dia punya mimpi anaknya, yang empat bersaudara, menjadi atlet yang membanggakan dia, semua orang dan bangsanya.

Cicing, yang menyabet medali emas nomor remaja putri 55kg kejuaraan 2ns IIWC, awalnya diberi pilihan. Tinju atau angkat besi. Dua-duanya olahraga keras.

Cicing yang begitu dekat dengan ayahnya, memilih angkat besi, dan sampai sekarang ini pula yang dia tekuni sampai sekarang. Orang tuanya sangat mendukung pilihan lifter kelas 12 SMKN 2 Sekayu ini.

Dengan olahraga, Cicing bertekad membahagiakan orang tuanya, terutama sang ayah yang mendambakan keturunannya menjadi atlet.

Di bawah semangat menggebu ayahnya, putri ketiga dari empat bersaudara ini meraih dua medali perak pada kejuaraan PPLP di Bandung.

Lalu ada Edianto, ayah pelari junior Adit Rico Pradana dan Adit Richi Pradana yang tampil memukau pada ASEAN School Games 2019 di Semarang, Juli lalu.

Sama dengan ayahanda Cicing, Edi juga bukan atlet. Modal dia cuma gemar olahraga, tetapi ini pula yang mendorong anak kembarnya serius menjadi atlet atletik.

Mulanya Edi mengirim si kembar ke sebuah sekolah sepak bola saat kelas dua SD. Di sini, Edi melihat kedua putranya ini punya bakat besar dalam berlari. Mereka berlari dalam kecepatan melebihi rata-rata rekan satu timnya.

Berbekal kemenangan pada lomba lari tingkat Kabupaten Blora di Jawa Tengah, Edi menjadi lebih percaya diri mengarahkan Rico dan Richi kepada atletik, saat mereka duduk di kelas lima SD.

Kesukaan Edi kepada olahraga, dia ekspresikan dengan setia menemani dan mengantar si kembar berlatih lari.

Ia rela menunggui kedua anaknya sampai mereka selesai latihan, tak peduli itu memakan waktu berjam-jam. "Asalkan bisa ikut melihat perkembangan kedua anak saya," kata Edi.

Kini Edi boleh berpuas diri atas usahanya mencetak si kembar menjadi atlet berprestasi, yang mempersembahkan medali perunggu dan medali emas ASG 2019 kepada Indonesia lebih dari sebulan lalu.

Berkaca dari mereka, jadi benar, orang tua memegang peran vital dalam bagaimana atlet mendulang prestasi. Bahkan punya tempat khusus dalam skema besar regenerasi pejuang olahraga nasional.

Oleh karena itu, wacana pemerintah akan memberi porsi kepada orang tua untuk berperan aktif dalam regenerasi atlet itu, adalah keputusan tepat nan apik demi regenerasi atlet agar prestasi tinggi olahraga tak mengenal jeda.

Baca juga: Lifter muda Banten raih emas dengan angkatan 286kg

 

Pewarta: Roy Rosa Bachtiar
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2019