Jakarta (ANTARA) - Subdit 2 Harda Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya berhasil membongkar dua kasus mafia tanah dengan modus menukar sertifikat hak milik (SHM) tanah milik korbannya dengan sertifikat palsu.

Dalam pengungkapan tersebut, polisi berhasil mengamankan sejumlah tersangka dalam kasus pertama diamankan tersangka berinisial RK, K, A, SD, HM, sedangkan dalam kasus kedua tersangka yang diamankan berinisial SD, S, MGR, HM dan K.

Kapolda Metro Jaya Irjen Gatot Eddy Pramono, di Jakarta, Kamis, mengatakan para tersangka ini memiliki peran yang berbeda.

Dalam kasus pertama, RK alias Wawan berperan sebagai calon pembeli, sedangkan K alias Kawe berperan sebagai calo pembuat SHM palsu.

Tersangka A mengaku staf notaris dan berperan menukarkan SHM asli dengan dengan SHM palsu saat pengecekan SHM. Lalu SD berperan sebagai pemodal, HM berperan pembuat SHM palsu.

Pelaku melancarkan aksinya dengan melakukan penawaran terhadap rumah yang hendak dijual oleh pemiliknya, kemudian membujuk pemilik untuk melakukan pengecekan ke BPN.

"Kemudian pelaku menukarkan SHM asli milik korban dengan SHM palsu yang sudah dipersiapkan oleh kelompok pelaku. Selanjutnya SHM dibalik nama atas tersangka dan diagunkan," ujar Gatot, di Mapolda Metro Jaya.

Gatot menjelaskan, kasus pertama terjadi pada 9 Agustus 2019, saat itu korban hendak menjual sebidang tanah luas 694 m2 di Kompleks Perumahan Liga Mas, Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Selatan, kemudian tersangka menghubungi korban dan mengaku berminat membeli dengan harga yang disepakati Rp24 miliar.

Pada hari yang sama, pelaku membuat PPJB legalisasi oleh Notaris Budi Arianto dan pemberian uang muka Rp200 juta, kemudian pada tanggal 10 Agustus 2018 dilakukan pengecekan SHM No. 870/Duren Tiga atas nama Lieke Amalia, diduga pada saat pengecekan tersebut SHM asli diganti dengan SHM aspal oleh tersangka A alias Asmadi.

"Kemudian oleh para terlapor, SHM asli tersebut dengan menggunakan figur seolah-olah korban (Lieke Amalia) dibuatkan PPJB No. 71 di hadapan Notaris Evi Susilawati pada tanggal 10 Agustus 2018," ujar Gatot.

Selanjutnya, para tersangka membuat AJB No. 210 di hadapan PPAT Erlina Dwi Kurniawati dengan nilai transaksi Rp19,5 miliar.
Baca juga: Polisi ungkap mafia pemalsuan sertifikat tanah

Tersangka RK kemudian melakukan balik nama dan dijadikan sebagai hak tanggungan untuk meminjam uang sebesar Rp6,8 miliar kepada Hengky Chandra Chang, Heni Nurbaini dan Silvia Lestari dengan dibuatkan Akta Pemberian Hak Tanggungan No.164.

"Atas dasar kejadian tersebut, korban Lieke Amalia mengalami kerugian dan melaporkannya ke Polda Metro Jaya," ujar Gatot.

Kemudian pada kasus kedua yang terjadi pada Oktober 2018 dilaporkan oleh Bobby Suhardiman dengan objek sebuah rumah di Jalan Iskandarsyah Raya, Melawai, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Modus tersangka dalam kasus ini adalah menawar rumah yang hendak dijual oleh pemilik kemudian membujuk untuk menitipkan SHM asli beserta dengan identitas pemilik berupa KTP, KK, IMB, dan sebagainya di notaris, ternyata notaris fiktif yang ditunjuk oleh kelompok tersangka dengan alasan untuk dilakukan pengecekan ke BPN.

Kemudian seluruh data pemilik dipalsukan dan dibuat seolah-olah terjadi jual beli antara pemilik dengan salah satu tersangka, sehingga korban kehilangan hak atas properti miliknya, selanjutnya SHM dibalik nama atas nama tersangka dan diagunkan.

Akibat tindakan para tersangka korban menderita kerugian Rp64,5 miliar dan kemudian melapor ke Polda Metro Jaya.

Atas perbuatannya, para tersangka diganjar sanksi pasal 263 KUHP dan atau pasal 266 KUHP jo pasal 55 dan pasal 56 KUHP.

"Pasal 263 KUHP, dengan pidana penjara paling lama enam tahun; Pasal 266 KUHP, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun," katanya lagi.

Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2019