Jakarta (Antara) - Presiden Amerika Donald Trump bukanlah penyebab perang dagang ini terjadi namun ini hanyalah gejala perkembangan dan problem struktur perekonomian dunia dan kompetisi dalam dunia politik Negara. Pimpinan Negara menilai bahwa eksport itu sehat bagi perekonomian domestiknya namun import itu memperburuknya sehingga politik dagang tarip impor dinilai jadi instrument penting namun menciptakan perang dagang itu.

Kebijakan AS adalah meningkatkan restriksi impor untuk menekan defisit perdagangan dengan Tiongkok. Defisit perdagangan AS dengan Tiongkok meningkat dari US$ 371,8 miliar pada 2016 menjadi US$ 395,8 miliar pada 2017. Tiongkok bereaksi keras dengan menambahkan tarif impor terhadap 128 produk AS senilai US$ 3 miliar dengan rincian 120 produk AS terkena ekstra tarif 15% dan 8 produk AS terkena ekstra tarif 25%. Selanjutnya, Tiongkok menambahkan tarif untuk 106 produk impor dari AS senilai US$ 50 miliar, perang dagang penuh ketegangan dimulai tanpa bisa dipastikan kapan berakhirnya.

Presiden Amerika Serikat yang mengawali “perang dagang” ini dan Mark Zandi ahli ekonomi terkemuka dunia Moody’s Analitycs menyatakan Presiden Trump salah besar dan ini akan merusak ekonomi dalam negeri AS sendiri dan juga ekonomi global, baik terjadi disektor ketenagakerjaan, manufaktur, transportasi, distribusi, dampak lanjutannya pebisnis mengurangi perekruitan tenaga kerja dan pengangguran semakin besar, investasi bisnis global mendatar saja maka ancaman resesi bukan tidak mungkin terjadi karena semua dunia mengkhawatirkan episode lanjutan perang dagang ini. Mark Zandi mengatakan AS sedikit lagi akan jatuh. Mungkin niat semula Presiden Donald Trump ingin memastikan apakah AS masih negara Adi daya di dalam percaturan ekonomi global atau negara lain (Tiongkok) namun salah jalan dan tidak bijaksana karena saling adu kekuatan namun, menciptakan disharmonisasi dan mengancam tatanan ekonomi global.

Perang Dagang adalah suatu manifestasi di dalam ketegangan antara dua ekonomi terbesar dunia jika berlangsung tiada henti maka potensi masuk ke stadium perang ekonomi dengan resonansinya meluas baik antara dua Negara dengan berbagai komoditas eksport-importnya maupun negara sekutu ekonomi masing-masing dan banyak pihak memproyeksikan Tiongkok menang dan timing inilah memunculkan era kebangkitan china dan era kemerosotan AS. Peter Navarro menyatakan ini adalah Kematian oleh China/"Death by China".

Kita mengkhawatirkan perang dagang masuk ke stadium perang ekonomi dan potensial terjerumus ke perang politik lanjut ke perang sesungguhnya dengan demikian banyak negara akan mengalami kemunduran perekonomiannya sehingga dibutuhkan harmonisasi, memperkuat prinsip bermitra bukan bersaing dan saatnya menyatukan model perekonomian antara barat dan asia.

Indonesia harus menang dalam pusaran perang dagang Amerika dan Tiongkok
Perang dagang AS-Tiongkok bisa menjadi peluang dan tantangan bagi kinerja perdagangan Indonesia dengan memanfaatkan peluang pasar produk ekspor nasional di pasar AS dan Tiongkok.

AS sangat agresip dengan meninjau ulang untuk Indonesia sebagai penerima fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) dimana untuk tahun 2018 diberi pemotongan bea masuk import terhadap produk ekspor dari negara yang memperoleh manfaat GSP. Pada 2017, Indonesia masih memperoleh manfaat GSP AS dalam kategori A yang memberikan pemotongan tarif bea masuk di AS untuk 3.704 produk. Sebesar 4% dari total ekspor Indonesia ke AS yang memperoleh fasilitas GSP pada 2017. Pada 2017 Indonesia menikmati surplus perdagangan dengan AS sebesar US$ 9,7 miliar. Indonesia perlu mengantisipasi dampak perang dagang AS vs Tiongkok dan pencabutan fasilitas GSP untuk Indonesia dan hal itu berdampak langsung bagi perekonomian kita.

Ditenggah situasi perang dagang belum mereda sikap AS pada 7 Agustus 2018,  mempersulit Indonesia dengan mendesak World Trade Organization agar Indonesia diberikan sanksi USD 350 juta terkait pembatasan oleh Pemerintah Indonesia terhadap impor peternakan dan produk-produk hortikultura dari AS. Hal ini menjadi warning bagi pemerintah Indonesia untuk memperluas pasar di negara-negara lain yang besar pasarnya, bagus pertumbuhan ekonomi negaranya seperti Tiongkok dll

Tiongkok adalah negara yang paling padat penduduknya di dunia dan pasar terbesar, sedangkan Indonesia memiliki populasi terbesar ke-4 di dunia. Indonesia dan Tiongkok adalah anggota APEC dan ekonomi utama. Hubungan perdagangan antara Indonesia dan Tiongkok tampak kian 'mesra' di pertemuan KTT G20 yang telah berlangsung di Osaka, Jepang, 28-6-2019.

Kepulauan Indonesia, diidentifikasi oleh geografer Tiongkok kuno sebagai Nanyang. Nanyang merupakan sumber dari rempah-rempah seperti cengkeh, kemukus, dan pala, bahan baku seperti sebagai cendana, emas dan timah, juga barang-barang langka eksotis seperti gading, cula badak, kulit harimau, dan tulang, burung-burung eksotis dll. Jadi Kerja sama bilateral Indonesia dan Tiongkok merupakan suatu hubungan kesejarahan dan diplomatik dagang saling membutuhkan dan menguntungkan.

Kesatuan Visi Kemitraan Strategis 2030 antara Tiongkok dan negara-negara anggota Asean menjadi stimulan hubungan dagang, investasi dan arus tourism akan meningkat tajam di kawasan Asean terlebih ke Indonesia, Tiongkok dan negara Asean sepakat untuk mengintensifkan upaya pemenuhan target bersama volume perdagangan sebesar US$ 1 triliun dan investasi US$ 150 miliar pada 2020 dan Indonesia sangat potensial untuk ambil keuntungan yang besar dalam hal ini.

Rakyat Indonesia semakin rasional melihat masa depan perekonomian bangsanya sehingga Jepangpun yang pernah menjajah bangsa Indonesia namun investasi Jepang bisa kita terima dengan baik demikian pula dengan Tiongkok sangat potensial diterima dengan baik terlebih Tiongkok belum pernah dalam sejarah negaranya menjajah negara manapun didunia ini.

Presiden Jokowi menyatakan kurs rupiah dan dolar AS tidak lagi relevan sebagai tolok ukur namun yang tepat adalah kurs rupiah disandingkan dengan kurs mitra dagang kita dan mitra dagang Indonesia yang terbesar adalah Tiongkok, Jakarta, 6-12-2018. Ekspor Indonesia ke AS hanya menyumbang porsi 10 sampai 11 % dari total ekspor. Nilai tersebut lebih kecil dibandingkan porsi ekspor ke Tiongkok (15,5 persen), Eropa (11,4 %), dan Jepang (10,7 %) sehingga jika diukur dengan dolar (AS) kita akan terlihat jelek. Padahal ekonomi kita oke-oke saja," ujar Presiden namun sebaliknya bila nilai tukar rupiah diukur terhadap renminbi Tiongkok atau yen Jepang. Sebab, rupiah terlihat lebih perkasa bila dipersepsikan dengan kedua mata uang tersebut.

Saat ini bertransaksi dengan mitra dagang utama seperti Tiongkok, Indonesia harusnya bisa saja langsung bertransaksi dengan RMB. Apalagi, sudah ada bilateral swap agreement antara The Central Bank of The Republic of China dan Bank Indonesia.
Indonesia bermitra dagang yang strategis disaat krisis perang dagang ini focus bermitra dagang dengan mitra dagang utamanya agar kita jadi pemenangnya.

Penulis:
Associate Profesor.Dr.Murpin Josua Sembiring.S.E.,M.Si
Rektor Univ.Ma Chung Malang.
Email: murpin.sembiring@machung.ac.id

Pewarta: PR Wire
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2019