Beijing/Yinchuan (ANTARA) - Pemeluk agama Islam di daratan China diperkirakan mencapai angka 20 ribu juta jiwa dengan jumlah masjid sekitar 39 ribu unit lebih yang tersebar di berbagai daerah.

Mereka mendapatkan kesempatan belajar ilmu-ilmu agama Islam setelah berusia 18 tahun dari para imam dan pemuka agama Islam di negeri itu.

Pelajaran agama Islam bagi umat Islam, termasuk membaca Alquran setelah berusia dewasa tersebut bisa didapat di masjid atau di rumah dengan mendatangkan ustaz atau pengajar pribadi.

Tentu saja, musim haji juga identik dengan Idul Adha yang dirayakan oleh jutaan Muslim di berbagai daerah di China.

Sama dengan di Indonesia, tanggal 10 Dzulhijjah 1440 Hijriah di China jatuh pada hari Ahad yang bertepatan dengan tanggal 11 Agustus 2019 Masehi.

Pada pagi hari itu, umat Islam berkumpul di lapangan di depan Masjid Id Kah, Kota Kashgar, di baratdaya Xinjiang yang sebagian wilayahnya berbatasan langsung dengan Uzbekistan dan Tajikistan untuk merayakan Idul Adha.

Mereka menari saman secara massal selepas shalat Id di masjid terbesar di kota itu yang memiliki nama lain Masjid Etigar dan meluapkan kegembiraan.

Irama gambus mengiringi suara merdu seorang penyanyi yang menarik perhatian para wisatawan untuk bersama-sama berbaur dalam pesta kurban di lapangan masjid yang dibangun pada tahun 1486 Masehi itu.

"Saya sengaja datang kemari sejak pagi hanya untuk merasakan atmosfer perayaan ini," kata Liu Bo, seorang wisatawan asal Provinsi Sichuan, seperti dikutip Xinlang Weibo, laman berita populer di China.

Perayaan Idul Adha tersebut bersamaan dengan musim panen wisatawan bagi pemerintah Daerah Otonomi Xinjiang.

Grand Bazaar sebagai pusat keramaian terbesar di Ibu Kota Xinjiang di Urumqi juga tidak mau ketinggalan mementum pada hari raya kurban yang di China dikenal dengan istilah "Guerbang Jie" tersebut.

Selama musim perayaan Festival Kurban, Grand Bazaar selalu dipadati para wisatawan, terutama mereka yang gemar berbelanja berbagai makanan dan suvenir khas kota yang paling banyak dihuni etnis minoritas muslim Uighur itu.

Anak-anak juga tertarik dengan instrumen musik tradisional yang dimainkan warga setempat di jalanan yang disebut dengan "dutar" yaitu sejenis kecapi berleher panjang dengan dua dawai.

Omzet Berlipat
Mohammad Tuersun Wuji yang sudah 10 tahun membuka usaha makanan tradisional setiap musim panas mengaku omzetnya melonjak pada tahun ini dibandingkan sebelumnya.

Dalam sehari wirausahawan beretnis Uighur itu bisa meraup pendapatan hingga 10.000 RMB atau sekitar Rp20,2 juta selama liburan musim panas yang kali ini bersamaan dengan Festival Idul Adha.

"Saya pikir untuk mendapatkan 10.000 RMB sangat sulit, tapi ternyata benar-benar terjadi dalam satu hari. Saya dengar, jumlah wisatawan yang mengunjungi Grand Bazaar mencapai 100 ribu orang per hari. Oleh karena itu saya perlu mempersiapkan persediaan lebih banyak. Kalau tidak, kami bisa kewalahan memenuhi permintaan pembeli," tuturnya.

Sejumlah warga desa di wilayah selatan Xinjiang pada hari itu juga merayakan Idul Adha dengan menyanyikan lagu tradisional diiringi tari-tarian dengan membentuk lingkaran yang dikenal dengan "Dawazi".

"Saya berterima kasih sekali kepada mereka yang tampil sehingga saya bisa menyaksikan pertunjukan ini di kampung halaman," ujar Aymraguri, warga Xinjiang.

Sementara itu, operator kereta api di Xinjiang pun menambah jadwal perjalanan guna mengatasi kepadatan arus mudik masyarakat setempat selama musim libur Idul Adha.

Sedikitnya 157 jadwal kereta api tambahan telah dikerahkan untuk mempermudah pelayanan terhadap warga Xinjiang dari berbagai etnis itu.

Mereka pulang ke kampung halaman atau mengunjungi sanak saudaranya untuk berbagi daging hewan kurban seraya berharap berkah bersama.

Hari Raya Idul Adha bagi umat Islam di China, khususnya di Xinjiang, semaraknya melebihi Hari Raya Idul Fitri.

Apalagi Xinjiang punya legenda Kurban Tulum atau Paman Kurban, yaitu petani kelahiran 1883 beretnis Uighur yang semasa hidupnya pernah bertemu dengan pemimpin China Mao Zedong itu tinggal di Kabupaten Yutian.

Kurban Tulum yang meninggal pada 26 Mei 1975 itu pernah dipromosikan oleh Partai Komunis China (CPC) sebagai simbol persatuan dengan kaum Uighur.

Di Daerah Otonomi Ningxia semarak Idul Adha juga terasa geliatnya. Ma Chongli, takmir masjid di Yinchuan, Ibu Kota Daerah Otonomi Ningxia, harus bangun pukul 04.30 waktu setempat (03.30 WIB) pada Minggu (10/8/2019) untuk melakukan berbagai persiapan penyelenggaraan shalat Id.

Di daerah yang dihuni 2,5 juta muslim beretnis Hui tersebut, jamaah shalat Id kemudian saling bersalam-salaman dan saling mendoakan satu dengan yang lainnya.

Setelah shalat Id, sebagian jamaah pulang ke rumah masing-masing untuk makan bersama keluarga, sedangkan yang lainnya ada yang belanja di pasar sekitar masjid untuk membeli makanan dan buah-buahan.

Demikian halnya dengan Ma yang telah menyiapkan daging sapi untuk dihidangkan bersama. Persediaan dagingnya cukup untuk dimakan bersama keluarga dan kerabatnya selama tiga hari.

"Setiap Idul Adha, kami menyiapkan dua meja makan. Biasanya sekitar 15 orang datang kemari untuk makan bersama dengan sajian daging sapi rebus. Kami makan-makan dan mengobrol pada malam hari dalam suasana gembira," ucap pria berusia 66 tahun itu.

Semarak Idul Kurban juga terasa di tiga provinsi lain di wilayah barat daya daratan China, seperti Gansu, Qinghai, dan Shaanxi. Ketiga daerah ini juga banyak dihuni oleh umat Islam beretnis Hui.

"Saat kebutuhan hidup sehari-hari meningkat di negeri ini, kami masih bisa makan dan punya banyak pilihan. Idul Adha ini menjadikan musim liburan lebih berwarna dan sangat menarik," ujar Ma yang menikmati suasana lebaran kurban itu. (Habis)
Baca juga: Kisah Haji dan Kurban orang-orang China (Bagian 1)
Baca juga: Untuk pertama kali KBRI Beijing gelar shalat Idul Adha
Baca juga: Wakil PM China hadiri jamuan jelang kurban

Editor: Maria D Andriana
Copyright © ANTARA 2019