Jakarta (ANTARA) - Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menginginkan agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan langkah koreksi terhadap kebijakan yang dikeluarkan institusi kepresidenan yang tidak memperhatikan aspek kebencanaan.

"Sudah seharusnya Presiden kini melakukan peninjauan ulang terhadap seluruh izin pembangunan yang dikeluarkan institusi kepresidenan, contohnya dengan mencabut Perpres 51 Tahun 2014 yang membuka keran pembangunan di lokasi rawan bencana. Seharusnya presiden Joko Widodo bisa meninjau ulang keberadaan Perpres ini," kata Direktur Eksekutif Nasional (Walhi) Nur Hidayati dalam konferensi pers di Jakarta, Senin.

Nur menuturkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang diterbitkan pada masa pemerintahan Joko Widodo atau periode pemerintahan lalu yang membuka lebar pembangunan di rawan bencana harus dikoreksi agar tidak menyebabkan korban jiwa di kemudian hari karena adanya potensi kerawanan bencana seperti gempa bumi, tsunami dan likuifaksi di wilayah-wilayah tertentu.

Nur mengatakan salah satu kebijakan nasional yang membuat rakyat menjadi korban potensial bencana di provinsi Bali adalah penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 51 Tahun 2014 pada 30 Mei 2014 yang membuka keran investasi pembangunan di daerah rawan bencana di Teluk Benoa.

Teluk Benoa dan sekitarnya di wilayah Bali Selatan merupakan area yang berhadapan langsung dengan zona megathrust di mana segmen Bali memiliki potensi gempa magnitudo maksimum 9,0.

Dengan mempertimbangkan aspek kebencanaan, Nur mengatakan Presiden Joko Widodo seharusnya tegas melakukan pencabutan Perpres Nomor 51 Tahun 2014 dan mengembalikan posisi Teluk Benoa kembali menjadi kawasan konservasi.

"Sekarang adalah saat yang tepat dan sudah sewajarnya Presiden Joko Widodo memenuhi keinginan dan aspirasi masyarakat Bali untuk mencabut Perpres Nomor 51 Tahun 2014. Begitu banyak potensi dan rawan bencana di Bali itu jadi langkah awal bagaimana bencana tidak terjadi di masa akan datang. Maka harus dilakukan langkah preventif dan kesiapsiagaan terhadap seluruh masyarakat Bali untuk menghindari jatuhnya korban di masa akan datang bila potensi bencana itu benar-benar terjadi," ujarnya.

Sebagaimana instruksi Presiden Joko Widodo untuk tidak membangun infrastruktur dan properti seperti bandara, bendungan dan perumahan di lokasi rawan bencana saat pembukaan Rapat Koordinasi Nasional BMKG, maka Nur mengatakan sudah seharusnya menteri-menteri yang berada di bawah kepemimpinan Presiden melaksanakan kebijakan sesuai arahan tersebut.

Ia mengatakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti diharapkan dapat segera merespon instruksi Presiden tersebut dengan mencabut izin lokasi reklamasi Teluk Benoa.

"Karena secara faktual izin lokasi tersebut berada pada kawasan rawan bencana, maka sebagai tindakan konkretnya seharusnya Menteri Susi Pudjiastuti segera mencabut izin tersebut," tuturnya.

Koordinator Divisi Politik Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa (ForBALI) Suriadi Darmoko meminta agar pemerintah mengembalikan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi dengan membatalkan Perpres Nomor 51 Tahun 2014 dan memberlakukan kembali Perpres Nomor 45 Tahun 2011.

Perpres Nomor 51 Tahun 2014 mengubah Teluk Benoa dari kawasan konservasi menjadi kawasan pemanfaatan dan dapat direklamasi seluas 700 hektare. Perpres Nomor 51 Tahun 2014 menggantikan Perpres Nomor 45 Tahun 2011.

"Kalau presiden kembalikan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi maka mega proyek tidak bisa berjalan karena melanggar hukum," ujarnya.

Dia mengatakan pihaknya juga sedang mengupayakan agar Teluk Benoa menjadi akwasan konservasi maritim yang akan memberikan perlindungan bagi lingkungan kawasan dan memelihara budaya setempat.

Baca juga: Pakar : aktivitas pembangunan harus pertimbangkan daya dukung lahan

Baca juga: BMKG tekankan pentingnya pembangunan berwawasan kebencanaan


 

Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019