Jakarta (ANTARA) - Parjuni, salah seorang peternak ayam mengakui mendekati bulan Ramadhan yang seharusnya harga ayam ditingkat peternak mengalami kenaikan, kini harganya masih di bawah ongkos produksi.
"Kalau harga produksi Rp18.000 per kilogram, maka harga ayam masih bertahan di Rp10.000 per kilogram yang berlangsung sejak setahun lalu," kata Parjuni saat dihubungi, Jumat.
Ia menuturkan, sebelum terjadi wabah, peternak masih bisa menjual Rp12.000-Rp13.000, begitu terjadi wabah, harga terjun bebas hanya Rp8.000 bahkan Rp4.000 perkilogram. Sementara ongkos produksi tidak pernah turun, tetap Rp17.500 - Rp18.000.
Bagi konsumen hal ini agak susah dipahami karena harga di pasar basah atau pasar moderen masih stabil di angka Rp30.000-35.000 per kilogram.
Rusaknya harga ayam ini terjadi akibat kelebihan pasokan sejak setahun lalu. Pada kondisi sekarang, permintaan ayam menurun hingga lebih 50 persen akibat pembatasan aktivitas masyarakat untuk mengurangi penyebaran COVID-19.
Parjuni mengatakan, sejak tahun lalu, komposisi suplai selalu berlebih setiap bulan, rata-rata suplai mencapai 300 juta kg per bulan, padahal kebutuhan pasar hanya 245-255 juta kg per bulan atau rata-rata 250 juta kg per bulan.
Ada kelebihan 50 juta per bulan atau per minggu 12.500-15 juta. Sudah melebihi kebutuhan masyarakat.
Sehingga ia pun pesimis, kalaupun Lebaran ada peningkatan, tetap saja belum memberikan keuntungan buat peternak rakyat.
"Ada kenaikan 20-25 persen terutama di Jawa atau maksimal 30 persen itu sudah bagus tapi tetap masih kelebihan suplai. Saat lebaran kenaikan ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur, karena kalau di Jawa Barat dan DKI justru berkurang karena orangnya mudik. Tapi kalau ada pelarangan mudik, artinya demand saat lebaran tidak ada tambahan, nilai konsumsinya tidak akan melonjak," kata peternak yang sudah berusaha sejak 2003 ini.
Menurut dia, peternak sudah meminta agar pemerintah membuat kebijakan untuk menyikapi adanya over supply ini. Namun kebijakannya hanya reaktif saja. Ketika peternak demo atau melakukan pembagian dan pembakaran ayam-ayam barulah pemerintah turun tangan mengurangi suplai. Kebijakan itu padahal terbukti, harga di tingkat peternak kemudian membaik.
Ia memaparkan pada bulan Juni 2019 masuk ayam hanya sekitar 230 juta kilogram, saat bulan Juli bagus, peternak rakyat untung. Tapi Juli dan Agustus tidak ada pemangkasan lagi, akhirnya bulan Agustus September hancur lagi. September 230 juta lagi, Oktober bagus lagi.
"Bagus itu bukan melebihi acuan kemendag, tapi peternak bisa dapat untung. Tapi tidak dipakai lagi jadi data yang benar. Bulan Oktober ngawur, sampai Desember. Sebenarnya Februari sudah juga dikurang tapi sudah kedahuluan wabah corona," keluhnya.
Parjuni mengatakan, over supply ayam ini sudah terjadi saat pasar dibanjiri DOC (Day Old Chicken). Tapi seringkali tidak diakui pemerintah.
"Banyak orang pajak bertanya usaha rugi tapi kok jalan. Kami ini seperti mayat hidup. Kami hanya menjalankan uangnya pabrik," katanya.
Ia menggambarkan, adanya kelonggaran pabrik yang jatuh tempo bisa 2-3 bulan bahkan 100 hari membuat peternak bertahan.
Kalau dihitung peternak rakyat ini sudah tidak hidup lagi. Kalau disuruh bayar cash, punya ayam saat panen diambil pabrik sudah habis. Hanya karena waktunya panjang, jadi bisa memutar lagi tapi uang perusahaan. Sebenarnya usaha yang tidak sehat, negara ini sudah dalam kondisi darurat di perunggasan karena peternak rakyat tidak punya modal, bahkan minus dengan asset yang diputar," kata Parjuni.
Wabah corona, akan mempecepat kematian para peternak ayam. Bila pemerintah tidak turun tangan.
"Pemerintah jangan menyalahkan wabah corona, karena kondisi ini sudah kacau. Kita sudah sakit. Kalau tidak ada corona mungkin kita bertahan sebulan lagi, karena corona jadi lebih parah dan mempercepat kematian," ujarnya.
Padahal ada lebih dari 12 juta tenaga kerja di peternakan rakyat ini.
Kadma, salah satu peternak lain dari Bogor mengakui kondisi saat ini merupakan yang terburuk sejak 2004 pada saat terjadi pandemi flu burung dan juga resesi 1998.
Ketua Umum Perhimpunan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Singgih Januratmoko mengatakan, pemerintah harus melakukan langkah serius untuk menyelamatkan peternak ayam.
Ia juga berpendapat momen puasa dan Lebaran belum bisa mendongkrak kelesuan sektor peternakan ayam.
"Untuk pulih masih 2-3 bulan lagi. Dalam 3 minggu kedepan kondisinya masih berat. Dengan kondisi seperti ini pengusaha UMKM bakal gulung tikar, yang bertahan hanya pengusaha besar. Sementara peternak ayam di Indonesia hampir 80 persen levelnya UMKM,” katanya.
Sebelum para peternak berguguran, perlu tindakan dari hulu dan hilir dari pemerintah. Harus segera dilakukan program pasar murah dimana pemerintah memfasilitasi dengan membeli ayam dari peternakan rakyat serta program bantuan langung dalam bentuk ayam. Tidak hanya beras dan uang tunai. Terutama juga memangkas over supply sejak dari DOC.
Mencermati kondisi saat ini Yeka Hendra Fatika dari Pusat Kajian Pertanian dan Advokasi mengatakan, produk unggas baik itu karkas harus diserap jadi cadangan pangan nasional.
"Saran saya Menteri perekonomian merespon cepat untuk menarik 20 ribu ton ayam atau karkas agar RPA (Rumah Pemotongan Ayam) dan cold storage yang sekarang penuh ini jadi kosong dan dialihkan ke pemerintah karena kosong produk dari peternak mitra bisa masuk lagi ke RPA nah ini langkah merespon cepat," katanya.
Parjuni meminta agar pemerintah mengurangi suplai DOC hingga 40 persen, menunda setting telur untuk 4 minggu kedepan agar harga livebird ditingkat peternak bisa bergerak naik sesuai harga acuan kementerian perdagangan, Dengan demikian peternak ayam dapat hidup kembali.
Dekati Ramadhan harga ayam ditingkat peternak masih rendah
Jumat, 10 April 2020 14:11 WIB
Sebelum terjadi wabah, peternak masih bisa menjual Rp12.000-Rp13.000, begitu terjadi wabah, harga terjun bebas hanya Rp8.000 bahkan Rp4.000 perkilogram. Sementara ongkos produksi tidak pernah turun, tetap Rp17.500 - Rp18.000.